“Apabila manusia hanya taat dan tunduk saja, maka dia hanyalah budak. Sebaliknya, apabila manusia hanya membangkang saja, maka dia itu hanya seorang pemberontak!” Fromm
Kutipan di atas tepat berada dalam buku On Disobedience and Other Essays karya Erich Fromm, yang dalam literatur Indonesia diterjemahkan oleh Bambang Murtianto dengan judul Dari Pembangkangan Menuju Sosialisme Humanistik. Penegasan Fromm di atas mengisyaratkan bahwa selain menjadi ‘Budak’ atau ‘Pemberontak’, terdapat sikap lain yaitu Revolusioner. Mungkinkah BEM Unhas atau Federasi Mahasiswa Unhas digerakkan oleh manusia revolusioner atau hanya antara Budak dan Pemberontak? Silakan disimak kawan!
BEM Unhas maupun Federasi Mahasiswa Unhas, sebagai suatu buzzword bergulir atas keresahan pengorganisiran mahasiswa di tingkat Universitas. Keduanya merupakan kulminasi gagasan terkait bentuk organisasi di tingkat universitas, juga sama-sama mengatasnamakan mahasiswa Unhas.
BEM Unhas, suatu bentuk organisasi mahasiswa yang begitu akrab dengan ingatan para pendahulu aktivisme Unhas, dari era 70-an sampai setelah reformasi, dan secara formil penggunaan istilah BEM-U bermula di tahun 2006 dengan terpilihnya seorang Ketua bernama Arham. Kala itu, BEM-U sebagai ruang belajar mahasiswa Unhas dalam berpolitik-praktis (wawancara dengan fungsionaris BEM-U Periode 2008-2009) sehingga dapat menghasilkan alumni-alumni BEM-U yang koheren dengan partai politik dan dewan perwakilan rakyat di Indonesia.
Lebih lanjut, dalam suatu pertemuan di tahun 2017 antara Birokrasi, yaitu Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III) dan Fungsionaris Lema se-Unhas, secara tegas menyampaikan bahwa dirinya merindukan sosok seperti Amin Rais yang lahir dari BEM-U.
Setahun belakangan dalam suatu liputan media kampus (identitas online), WR III juga menyampaikan, bahwa kini dengan statuta Unhas sebagai PTN-BH membutuhkan perwakilan mahasiswa di Majelis Wali Amanat (salah satu struktur di Unhas) dan itu harus diisi oleh Ketua Lembaga tingkat Universitas. Setidaknya, secara empirik terdapat tiga poin utama yang inheren bersama BEM-U: Politik-Praktis, Tokoh Nasional, dan MWA. Mari membongkar satu per satu!
Politik-Praktis, sejatinya pemahaman politik harus diterapkan, tetapi mereduksinya dalam penerapan kacamata parlemen kantoran merupakan suatu kegagalan sejarah. Pembentukan politik negara bermula dari gagasan civitas akademik (termasuk mahasiswa), sebaliknya bukan politik negara yang mengatur cara civitas akademik berpolitik.
Tokoh Nasional, sejatinya lahir atas akal dan pemikiran yang radikal, sehingga mampu menemukan kesamaan berbangsa dan membentuk imajinasi bersama. Sayangnya, Amin Rais belum menemukan kesamaan berbangsa dan membentuk imajinasi bersama.
MWA Unsur Mahasiswa, mengatasnamakan mahasiswa di dalam struktur kampus berarti menghadirkan segala pemikiran mahasiswa dalam satu kerangka kerja bersama. Sayangnya, MWA UM di Unhas inheren dengan kedudukan Ketua BEM-U yang notabenenya hingga kini belum disepakati se-Unhas.
Lain sisi, Federasi Mahasiswa Unhas, suatu bentuk organisasi tingkat Universitas yang lahir sebagai anak kemarin sore tanpa kedekatan historis dengan para pendahulu aktivisme di Unhas, diperkenalkan oleh mereka yang menolak Neoliberalisasi Pendidikan beserta turunannya. Di tahun 2017, BEM/Senat Fakultas maupun Lema lain se-Unhas berkumpul untuk membentuk suatu gerakan alternatif bernama Komite Mahasiswa Unhas hingga tanpa kesatuan pemahaman di tahun 2018 beberapa fakultas membentuk Federasi Mahasiswa Unhas sebagai alternatif lainnya.
Pengesahan Unhas sebagai PTN-BH adalah garis utama yang membuatnya menolak bentuk organisasi BEM-U, sebab BEM-U dikaitkan secara langsung dengan MWA-UM dan MWA-UM bagian dari PTN-BH dan Neoliberalisasi Universitas.
Dengan demikian, kehadiran BEM Unhas dan Federasi Mahasiswa Unhas hanyalah membentuk segregasi sosial antara budak dan pembangkang bagi Fromm, entah siapa yang budak, siapa yang pemberontak.
Bagi mahasiswa Unhas yang di luar dari mereka di atas, masuklah pada sikap revolusioner! Senantiasa setia pada akal yang sehat dan suara hati humanistik; yang bebas dari sanksi-sanksi atau pujian-pujian dari luar; yang memiliki pengetahuan atas apa yang dapat memelihara kehidupan dan apa yang merusak kehidupan. Engkau memiliki kesadaran bahwa organisasi adalah alat memanusiakan manusia, jikalau organisasi tersebut memisahkan antar manusia sangat tidak layak disebut sebagai organisasi. Terlebih BEM-U dan Federasi Mahasiswa secara terang telah mengatasnamakan mahasiswa dan membentuk pemisahan antar mahasiswa. Aneh!
Khusus bagi Mahasiswa Baru Unhas yang hari ini resmi mengikuti proses formal di Unhas, hati-hatilah kampus yang kau masuki sedang dalam jeratan uangisme atau sama dengan kapitalisme dan neoliberalisme. Tapi mungkin kau belum akrab dengan kata tersebut. Secara sederhana, Unhas, kampusmu sedang berupaya mengumpulkan uang dari dirimu,atau dari orang tuamu demi kepentingan kekayaan kampus (lihatlah UKT dan DPP). Berhentilah mendengarkan ocehan BEM-Unhas ataupun Federasi Mahasiswa Unhas. Bersatulah, baik yang kaya maupun miskin, mahasiswa ataupun mahasiswi organisir dirimu untuk merebut pendidikan gratis, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terawal, sadarlah kalian para pengusung BEM Unhas dan Federasi Mahasiswa Unhas sedang berada dalam ‘Super-Ego’ bagi Freudian, yang berarti suara hati otoritarian, suara otoritas yang telah diinternalisasikan pada diri kalian sehingga ingin mengikutinya, dan takut bila tidak ikut. Laiknya, Anak yang takut pada Ayahnya. Duduklah bersama membincangkan ilmu dan kebijaksanaan, sebelum menyoal politik-praktis!
Salam kemanusiaan.
Muhammad Chaeroel Ansar
Alumni Ilmu Pemerintahan
Angkatan 2013
Ketua Bem Fisip Unhas Periode 2017