Beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia digegerkan dengan meningkatnya jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak. Hal ini disinyalir lantaran adanya pengaruh obat sirop yang kini beredar bebas di apotek.
Usai munculnya laporan tersebut, maka Kementerian Kesehatan menginstruksikan seluruh apotek untuk tidak menjual obat sirop. Instruksi itu pun terdapat dalam Surat Edaran Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Pada Anak yang ditandatangani Plt Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami pada 18 Oktober 2022.
Hingga 7 November 2022, terdapat 324 kasus gagal ginjal akut pada anak di 28 provinsi. Sebanyak 27 pasien masih dirawat, 195 meninggal dunia, dan 102 pasien sembuh.
Lantas, bagaimana para ahli melihat fenomena ini? Berikut wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Zidan Patrio bersama Dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, Muhammad Aswad SSi MSi PhD Apt, Senin (7/11).
Melihat kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia saat ini, apakah ada korelasinya dengan obat sirop yang beredar?
Kita tidak bisa terlalu dini mengatakan bahwa ada korelasinya. Saya juga tidak menemukan alasan di balik keadaan gagal ginjal tersebut. Artinya penyebab utamanya belum diketahui secara pasti, dan itu masih dalam tahap investigasi. Tapi memang disinyalir ada hubungannya dengan penggunaan obat sirop. Sejauh ini dikatakan bahwa ada cemaran senyawa yang namanya etilen glikol dan dietilen glikol. Kedua senyawa yang saya sebutkan itu bukan bahan dalam campuran obat. Dalam artian formula tersebut bukanlah zat yang seharusnya dicampur dalam obat sirop.
Lantas apakah kegunaan kedua zat tersebut sehingga bisa terdapat dalam obat sirop?
Tidak ada kegunaannya. Etilen glikol dan dietilen glikol adalah senyawa yang hadir dari cemaran bahan tambahan untuk sirop. Jadi obat sirop itu harus larut dan ada beberapa bahan pembuatan sirop yang susah larut. Maka harus diberi senyawa tambahan yang bisa melarutkan seperti propilen glikol, sorbitol, polietilen glikol, dan gliserol.
Kalau pabrik mau buat sirop, semua bahan tambahan ini harus diimpor. Maka itulah yang disinyalir kemungkinan menjadi asal zat cemaran etilen glikol dan dietilen glikol tersebut. Jadi memang dua itu bukan senyawa yang dipakai untuk obat.
Pemerintah mengambil tindakan dengan menyetop penyebaran obat sirop pada anak, bagaimana Anda melihat efektivitas dari aturan ini?
Kita lihat saja dulu apakah dengan menghentikan sekarang, peredaran kasus ini dapat berhenti atau tidak. Jika ternyata kasus ini berhenti, berarti memang ada korelasi. Tetapi kita tidak bisa mengambil kesimpulan terlalu dini. Bagaimana pun juga harus tetap dilakukan penelitian. Kemudian kebijakan-kebijakan yang sedang diberlakukan harus dilihat yang mana bisa kita kendalikan.
Di awal-awal peredarannya langsung dihentikan semua. Itu tidak bijak juga, karena saat itu saya melihat bukan cuma obat sirop. Maksud saya sebagai orang farmasi sirop itu termasuk larutan, tetapi ada juga obat yang disebut suspensi atau mengandung bahan obat padat berbentuk halus dan tidak larut. Saat itu penyebarannya langsung dihentikan semua, karena tidak mungkin memberikan senyawa-senyawa seperti itu.
Selain obat sirop, apakah ada alternatif lain jenis obat yang aman di konsumsi oleh anak-anak?
Di apotek kan ada obat puyer. Jadi obat puyer adalah jenis obat yang berbentuk bubuk. Apotek pasti melayani pembuatan obat itu. Jadi kalau anak-anak selama ini lebih menyukai obat berbentuk sirop, orang tua dapat mencampur sendiri menggunakan sirop biasa. Memang seperti itu cara membuatnya, sehingga kita tidak perlu khawatir. Namun bila sudah terlanjur mengonsumsi obat sirop yang ada, itu tidak masalah. Hal ini karena kadar dua zat sebelumnya boleh-boleh saja dengan kadar maksimum hanya 0,1 persen.
Untuk penyebabnya pun belum diketahui secara pasti, lantas berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
Kita belum tahu. Terlebih apakah ada zat-zat tertentu yang bisa saja merupakan virus atau apa. Jadi kita belum tahu sama sekali tanpa adanya riset paripurna untuk bisa mengungkap penyebabnya.
Bagaimana dengan Fakultas Farmasi Unhas, apakah ada tindakan atau kontribusi yang diberikan?
Sejauh ini kasusnya sudah masuk ranah pemerintah. Jadi sudah ada pihak atau tim yang berwenang untuk melakukannya, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah turun tangan. Tugas kita hanya hanya memantau. Mungkin nanti kita juga bisa membantu dalam hal meneliti cemaran ini karena terus terang agak sulit juga mendeteksi itu.
Bagaimana harapan Anda ke depannya agar tidak terjadi lagi kasus semacam ini?
Harapan saya persoalan seperti ini sudah harus menjadi prioritas. Kalau memang zat etilen glikol dan dietilen glikol yang menjadi penyebab utama, artinya kita sudah harus mengubah pola pengawasan terhadap obat. Sehingga persoalan cemaran pada obat itu menjadi prioritas pemerintah.
Data diri narasumber:
Nama: Muhammad Aswad SSi MSi PhD Apt
Pendidikan
S1: Farmasi, Universitas Hasanuddin
Profesi: PSP Apoteker, Universitas Gadjah Mada
S2: Sains Farmasi, Institut Teknologi Bandung
S3: Pharmaceutical Science, Toyama University