Sekitar pukul dua dini hari, gempa bumi kembali meluluhlantakkan Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat, pada 15 Januari 2021. Hingga membangunkan orang dari tidurnya, masyarakat pun buru-buru mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman atau dataran lebih tinggi.
Warga mengungsi ke perbukitan dan mendirikan tenda darurat. Hingga kini sebagian masyarakat Sulbar masih bertahan di lokasi pengungsian dikarenakan kondisi rumah yang ambruk. Namun pascabencana memunculkan masalah lain, kekurangan bahan makanan misalnya. Penduduk pun juga rentan terkenah trauma, apalagi kondisi daerah pengungsian yang tidak layak huni.
Peristiwa traumatik seperti bencana alam membuat para korban rentan terkena gangguan psikis. Pemulihan trauma atau trauma healing pun jadi solusi. Lantas, seperti apa trauma healing? Apa saja tahapannya? Berikut wawancara khusus reporter identitas, Irmalasari dengan Ketua Program Studi Dapartemen Psikologi Fakultas Kedokteran Unhas Dr Ichlas N Afandi S Psi M A, Jumat (8/2).
Bagaimana pendapat Anda mengenai trauma healing, yang terjadi pascabencana alam?
Sebenarnya trauma healing berupaya mencegah dampak buruk dari trauma. Setiap manusia punya pengalaman manis dan pahit. Pada kondisi bencana peristiwa yang terekam adalah momen negatif. Maka memerlukan trauma healing, secara praktis bukan bekerja untuk menghilangkan trauma. Tetapi mengurangi dampak buruk dan tetap berdaya secara psikis dan fisik pascatrauma.
Apa saja ciri- ciri orang yang mengalami trauma pascabencana?
Banyak ciri-cirinya misalnya lebih enggan berkomunikasi, kehilangan nafsu makan, kurang semangat hidup. Macam orang depresi, apalagi mungkin ketika bencana kehilangan sesuatu yang ia sayang.
Lantas, bagaimana masyarakat dapat membantu orang tersebut?
Kalau masyarakat awam, baiknya buat si korban setenang mungkin. Apalagi sekarang sudah ada unit reaksi cepat termasuk penanganan trauma fisik dan psikologis. Perlu mengetahui trauma tidak terjadi seketika itu. Mungkin sehari setelah bencana baru terjadi atau dua hari ke depan baru menunjukkan tanda-tanda. Nah di situ bisa melaporkan secepatnya.
Tidak dapat dipungkiri semua akan terdampak bencana alam, trauma healing yang dapat kita lakukan untuk diri sendiri itu seperti apa?
Saya kira untuk diri sendiri itu agak sulit, self diagnosa tidak mudah dilakukan, yang bisa menilai adalah profesional. Saya kira kalau ada bencana yang paling bisa lakukan sebagai insan beragama. Mengembalikan bahwa hal ini sudah ditakdirkan dan harus menerima situasi. Ketika muncul perasaan menolak, akan cenderung menyalahkan, ujung-ujungnya mempersalahkan orang di sekitar, bahkan Tuhan pun disalahkan.
Apabila menyangkal dan lari dari kenyataan, maka peluang masuknya gangguan-gangguan besar, akan terjadi. Namun, hal itu tidak berlaku pada anak-anak. Mereka belum bisa mengenal dengan baik apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Jangankan anak-anak, orang tua saja masih ada yang salah dalam menilai. Ini yang perlu penanganan khusus.
Selama ini tantangan yang sering Anda temukan dalam trauma healing?
Di Indonesia sebenanrya sistem-sistem sosial belum begitu mendukung. Namun, ada sisi postifinya. Maksudnya tingkat aduan masyarakat masih rendah. Hal ini disebabkan pengetahuan, ketika terjadi kasus trauma, masyarakat belum melaporkan, apalagi buru-buru dikaitkan dengan mistis. Di sisi lain, menguntungkan karena pendekatan nilai-nilai agama pada setiap bencana. Artinya menerima kondisi dalam konteks budaya masyarakat Indonesia itu lebih tinggi dalam bahasa Jawa disebut namanya nerimo.
Salah satu contohnya, Tim Psikologi Unhas melakukan trauma healing di Jeneponto, Desa Sapanang yang pernah tergenang banjir bandang. Kami tidak menemukan kasus spesifik terkait post traumatic stress disorder (PTSD) padahal korban begitu banyak. Nah, setelah kami eksplorasi ternyata yang menyebabkan mereka begitu kuat menghadapi bencana adalah nilai agama. Mereka selalu bilang dalam bahasa Makassar “ anu anne pak erokna mi karaeng Allah Taala” (Ini sudah kehendak Tuhan).
Oleh karena itu, apa harapan Anda kepada masyarakat terkait trauma healing dan bencana alam?
Selain menerima kondisi sebagai sebuat realitas sosial yang tidak bisa kita sangkal sama sekali. Kita juga harus pandai-pandai memahami situasi lingkungan, seperti melihat curah hujan begitu tinggi. Orang dewasa mestinya bersiap-siap dengan situasi apapun. Dengan demikian ketika bisa menerima kondisi kemudian menjadi agen kepada anak- anak untuk memberikan pemahaman dan menerima situasi yang harus dihadapi. Bekerja sama dengan semua elemen untuk menangani dampak-dampak buruk dari bencana ini.
Nama Lengkap : Dr Ichlas N. Afandi, S.Psi, M.A
Tempat Tanggal Lahir : Makassar, 25 Juli 1981
Pendidikan : S1 Psikologi UMM Malang (2002)
S2 Psikologi UGM Yogyakarta (2010)
S3 Psikologi UGM Yogyakarta (2019)