Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger dari serial animasi One Piece menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-80 menarik perhatian publik. Di tengah perayaan kemerdekaan, simbol bajak laut fiksi itu tiba-tiba hadir di ruang publik sebagai bagian dari ekspresi generasi muda, terutama Generasi Z (Gen Z).
Bagi sebagian orang, fenomena ini tidak lebih dari sebuah tren budaya populer yang meluas melalui media sosial. Namun, jika dilihat dari kacamata sosiologis, penggunaan simbol fiksi pada momentum sakral seperti 17 Agustus, dapat dimaknai sebagai bentuk komunikasi simbolik.
Lantas, bagaimana sebenarnya fenomena pengibaran bendera One Piece dari kacamata sosiologis? Apakah hal tersebut hanya sekadar tren fandom, atau justru bentuk perlawanan simbolik terhadap negara?
Simak wawancara khusus Reporter identitas, Aliyah Fadhilah bersama Dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Hariashari Rahim SSos MSi, Jumat (15/08).
Bagaimana Anda melihat fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk perlawanan simbolik di ruang publik?
Fenomena ini menarik karena sesuatu yang fiksi kemudian ditarik ke dunia nyata, apalagi dibenturkan dengan kreativitas Gen Z yang memanfaatkan momentum 17 Agustus untuk menyampaikan pesan.
Kritik melalui simbol bukanlah hal baru. Sebelumnya, berbagai organisasi masyarakat juga kerap menggunakan lambang tertentu untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Dari sisi sosiologis, hal ini lebih tepat dipahami bukan sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai cara menyampaikan pesan secara simbolik.
Pesan mereka umumnya berupa kritik terhadap pemerintah, misalnya mengenai maraknya kasus korupsi atau kebijakan struktural yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat.
Namun, pesan ini ditafsirkan secara beragam. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk kritik sah dalam ruang demokrasi, sedangkan disisi lain ada yang menilainya sebagai perilaku tidak etis karena dilakukan menjelang hari kemerdekaan.
Perbedaan tafsir inilah yang melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Dalam teori sosiologi simbolik, bagaimana pergeseran makna dari simbol nasional ke simbol fiksi ini bisa terjadi?
Menurut seorang sosiologis, Alberto Melucci, sebuah pergerakan sosial itu membutuhkan simbol-simbol, terutama ketika hadir di momentum yang tepat, karena hal tersebut bisa menjadi ciri khas.
Menariknya, hal yang bersifat fiksi ini dapat menimbulkan perdebatan ketika ditarik ke dunia nyata, sehingga melahirkan berbagai tafsiran. Bisa jadi pemberi pesan tidak bermaksud untuk menyampaikan hal demikian, akan tetapi para pembaca kerap menafsirkan dengan cara berbeda-beda.
Bagaimana media sosial mengubah simbol fiksi menjadi sarana perlawanan yang masif?
Kini kita hidup di era digital yang terus berkembang. Masyarakat tidak lagi dipandang sebagai sekadar individu, melainkan sebagai jaringan titik-titik yang saling terhubung dan membentuk konsep baru terkait masyarakat digital.
Karena penyebarannya begitu cepat, informasi seringkali tampak cepat berubah-ubah dan menimbulkan banyak orang penafsiran yang berbeda-beda dan kita tidak bisa memaksakan untuk menyamakan perspektif kita dengan orang lain, sesuai dengan prinsip demokrasi.
Apakah penggunaan simbol bajak laut dari budaya populer bisa memicu alienasi identitas nasional di kalangan generasi muda?
Saya rasa tidak, karena dalam demokrasi setiap orang dijamin haknya untuk berpendapat, bahkan mengkritik pemerintah itu merupakan kewajiban.
Masyarakat justru berkewajiban mengawasi, mengkritik, memberi masukan, dan menyampaikan pendapat, baik dari kalangan milenial maupun Generasi Z, semuanya memiliki hak yang sama. Pemerintah pun tidak boleh bersikap anti kritik.
Terkait dengan adanya fraksi dan perbedaan itu akan berpengaruh dalam penggabungan informasi dan menyebabkan ruang-ruang publik menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Bagaimana negara seharusnya merespons fenomena perlawanan simbolik seperti ini tanpa memperkuat sentimen anti-pemerintah?
Negara jangan terlalu berlebihan dalam menanggapi hal ini dan harus segera intropeksi diri terhadap pesan yang ingin disampaikan. Pemerintah juga harus lebih peka terhadap berbagai keluhan masyarakat.
Menurut Anda, langkah apa yang bisa diambil untuk merekonsiliasi makna simbol negara dengan aspirasi generasi muda?
Pertama, melalui gerakan sosial yang didukung dengan distribusi informasi merata. Bahasa penyampaiannya harus jelas agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru, sekaligus diiringi dengan komunikasi yang sehat antarkelompok.
Mengkritik negara juga merupakan hal yang sah dan bahkan wajib dilakukan secara konsisten. Pesan-pesan simbol pun perlu diangkat dan diterjemahkan menjadi gerakan kolektif.
Apa harapan anda kedepannya terkait pengibaran bendera ini?
Jangan takut untuk tetap mengibarkan bendera One Piece, selama tidak dimaksudkan untuk mengganti, menyandingkan, atau mengubah identitas bangsa. Komunitas pecinta One Piece juga perlu saling menguatkan dengan berbagi informasi, sebab mereka pada dasarnya tidak memiliki niat untuk menggantikan simbol negara. Namun, ruang demokrasi itu sangat luas, wajar jika muncul beragam tafsiran dari masyarakat.
Biodata Narasumber:
Hariashari Rahim, S.Sos, M.Si
Watampone, 7 Mei 1984
Riwayat Pendidikan:
S1 Sosiologi, Universitas Hasanuddin
S2 Sosiologi, Universitas Hasanuddin
