Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi beras sebagai makanan pokok di Indonesia turut meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Pusat Statistik, total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga pada 2023 mencapai 22,64 juta ton per tahun. Angka ini meningkat 0,93 persen dari tahun sebelumnya.
Namun peningkatan jumlah penduduk tak sebanding dengan laju produksi beras dalam negeri. Hal ini membuat pemerintah memilih untuk mengimpor beras. Tercatat, pada Januari-Mei 2024, angka impor beras Indonesia mencapai 2,2 juta ton.
Kondisi tersebut memperlihatkan adanya risiko kerentanan pangan di negeri ini. Hal ini cukup disayangkan, mengingat pemenuhan pangan merupakan hal yang pokok bagi penduduk, khususnya bagi ibu menyusui. Pemenuhan pangan bagi ibu menyusui merupakan hal yang wajib untuk memastikan pemberian gizi yang baik untuk menunjang keberlangsungan generasi bangsa ini ke depannya.
Melihat gentingnya permasalahan tersebut, Guru Besar Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Ir Meta Mahendradatta dan tim kemudian mengkaji mengenai pengembangan beras analog berbahan ubi, pisang, dan daun katuk. Penelitian ini tertuang dalam artikel berjudul “Development of Analog Rice Made from Cassava and Banana with the Addition of Katuk Leaf (Sauropus androgynous L. Merr.) and Soy Lecithin for Lactating Women”.
“Kita perlu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dengan mengangkat penggunaan bahan pokok lainnya sebagai sumber karbohidrat, misalnya umbi-umbian,” kata Meta, Jumat (27/09).
Mengandung banyak gizi
Melalui penelitian ini, Meta dan tim meneliti mengenai potensi beras analog dari bahan pangan lokal Indonesia untuk menggantikan beras yang dapat memenuhi kebutuhan gizi ibu menyusui. Beras ini disesuaikan berdasarkan preferensi ibu menyusui.
Beras analog sendiri merupakan bahan berbentuk beras yang diolah dari campuran tepung beras dan non-beras, namun tetap memiliki kandungan gizi yang sama. Beras analog formulasi C yang dikembangkan Meta dan tim berbahan dasar 80 persen tepung singkong, 20 persen tepung pisang, 3 persen tepung daun katuk, dan 0,5 persen lesitin kedelai.
Singkong dan pisang diyakini kaya akan kandungan karbohidrat, kalori, vitamin, mineral, dan protein, yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Adapun daun katuk memiliki kandungan senyawa aktif alkaloid dan sterol yang dapat meningkatkan jumlah produksi air susu ibu (ASI). Kombinasi bahan tersebut menciptakan inovasi pangan yang kaya akan gizi bagi ibu menyusui.
“Dengan penggunaan beberapa bahan diharapkan kandungan nutrisinya juga akan beragam sehingga beras analog bukan hanya sebagai sumber karbohidrat. Kandungan nutrisi dan komponen aktif yang diteliti terkandung di dalam beras analog ini adalah proksimat yakni kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, zat besi, total flavonoid, fitosterol (stigmasterol dan sitosterol), serat kasar dan total kalori,” jelas Meta.
Meta dan tim memproduksi beras analog menggunakan mesin ekstruder dan ekstrusi panas dengan suhu di atas 70 derajat celcius. Beras analog diproduksi melalui beberapa tahap, yaitu persiapan bahan, pencampuran, pengukusan, pencetakan dan pengeringan.
Persiapan bahan diawali dengan pengayakan serbuk daun katuk. Setelah itu, bahan ditimbang sesuai dengan formulasi. Tahap selanjutnya adalah proses pencampuran tepung terigu dan lesitin kedelai dicampur terlebih dahulu lalu diaduk selama 3 menit.
Kemudian, 20 persen air ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bahan yang telah dicampur. Bahan kemudian diaduk kembali selama 10 menit hingga bahan tercampur rata dan membentuk adonan dengan tekstur yang sedikit basah. Adonan lalu dikondisikan dengan membungkusnya dengan kain saring dan dikukus di dalam dandang selama 30 menit.
Setelah itu, adonan diekstrusi untuk membentuk butiran beras analog dengan menggunakan mesin ekstruder single screw yang dirakit di CV Giat Extruder Machine, Bogor, Jawa Barat. Selama proses ekstrusi, adonan mengalir dan dibentuk melalui die (cetakan). Butiran beras analog yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven blower dengan suhu 60 derajat celcius. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar air beras analog hingga di bawah 14 persen.
”Rasa nasi analog cukup unik. Dengan tekstur yg serupa dengan nasi biasa dan rasa yang agak tawar tapi merupakan gabungan rasa antara singkong dan pisang diharapkan bisa menjadi alternatif pengganti beras biasa,” sebut Meta.
Beras analog terbaik
Beras analog yang dihasilkan memiliki bentuk menyerupai butiran beras dengan karakteristik lonjong. Beras ini berwarna hijau kecoklatan dan tekstur yang pulen, serta memiliki aroma khas daun katuk. Rasa yang khas juga diperoleh dari bahan-bahan lain yang digunakan.
Berdasarkan tingkat kesukaan konsumen ibu menyusui, Meta dan tim menyimpulkan bahwa beras analog formulasi C merupakan beras analog terbaik yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti beras asli bagi ibu menyusui. Dengan mengonsumsi beras analog sekitar 300 gram per hari, maka ibu menyusui dapat memenuhi kebutuhan kalorinya sekitar 500-1000 kkal, serta 20 persen kebutuhan protein dan 30-60 persen kebutuhan zat besi.
Dari hasil tersebut, Meta masih berupaya untuk meningkatkan kualitas beras analog temuannya agar lebih dapat diterima oleh masyarakat sehingga dapat sepenuhnya menjadi pengganti beras biasa. Meta juga menyebut target utama konsumennya adalah ibu menyusui, sehingga perlu dilakukan uji klinis lebih lanjut. Namun demikian, masyarakat umum juga dapat mengonsumsinya.
“Hasil penelitian kami belum diproduksi dan dijual untuk umum karena masih memerlukan tahap penggandaan skala (scale up) dari skala pilot plan ke skala komersial secara bertahap melalui kajian teknoekonomi,” ujar Meta.
Nurul Fitrah