“Jika kamu merasa tidak percaya diri, coba tebak? Banyak orang di belahan dunia lainnya juga demikian. Jangan melebih-lebihkan persaingan dan meremehkan diri sendiri. Kamu lebih baik dari yang kamu pikirkan,” — Timothy Ferriss.
Insecure saat ini menjadi sebuah istilah yang populer digunakan untuk memaknai rasa tidak percaya diri seseorang. Ketidakpercayaan diri tersebut dapat terbentuk jika seseorang mulai membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, atau muncul saat ia merasa kurang memenuhi ekspektasi dan standar sosial. Jika diamati, pemahaman kita terhadap insecure secara umum dilihat dalam sudut pandang yang negatif. Lantas, bisakah insecure dilihat dari sudut pandang positif? Bisakah seseorang berdamai dengan rasa tidak percaya dirinya?
Sepenggal kisah ini adalah awal dari bangkitnya rasa tidak percaya diri (insecure) pada diriku sendiri, yaitu sejak memasuki sekolah menengah pertama. Aku ingin mengajak kalian terlebih dahulu untuk kembali ke masa di saat diriku masih di sekolah dasar, saat itu merupakan masa keemasan. Aku cukup terbilang sering menorehkan prestasi, terbiasa menjadi yang pertama, terbiasa dipuji, dan terbiasa pula mendapat tatapan iri dari teman-teman maupun tetangga yang sering membandingkan anaknya dengan diriku. Meskipun prestasiku tergolong hal biasa jika dibandingkan dengan prestasi seabrek orang-orang di daerah lain yang lebih maju, di daerahku pencapaianku menjadi sebuah kehormatan bagi anak seusiaku waktu itu.
Melompat ke masa sekolah menengah pertama, aku beserta sejuta kepercayaan diriku berpikir bahwa akan mendapatkan hal yang serupa pada saat duduk di bangku sekolah dasar. Akan tetapi, kenyataan berbicara sebaliknya, aku justru tidak menempati posisi pertama dan berakhir di posisi kedua sebagai murid berprestasi, sangat tidak mempunyai rasa syukur bukan? Aku pun mulai bergumul dengan pikiranku. “Mengapa dia? Apakah dia lebih pintar dariku? Aku ingin melihat laporan nilainya” begitulah kira-kira, rasa iriku saat itu meledak-ledak hingga rasanya enggan untuk beranjak dari bangku dan mengucapkan selamat kepada orang itu.
Setiap semester, aku selalu berada di posisi itu, pun posisi pertama selalu ditempati oleh orang yang sama. Kala itu, sudah menjadi pertama kalinya dimana aku selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tiap semesternya kulalui dengan rasa tidak percaya diri.
Mari kita melompat ke masa saat aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Tidak berbeda dengan sebelumnya, meskipun mendapatkan predikat salah satu murid terbaik, masih ada kekosongan di sebagian wadah rasa percaya diriku. Aku mendapati posisi kedua, lagi. Saat itu, memang diriku sudah menduganya. Tidak ada yang mengherankan jika bertemu dengan orang-orang baru, banyak orang pintar di luar sana, sehingga tidak menutup kemungkinan pula akan ada yang lebih pintar dariku. Membandingkan diri dengan orang lain sudah menjadi rutinitasku saat itu, kelemahan-kelemahanku pun mulai muncul ke permukaan dan kusadari sewaktu itu. Aku bukan lagi diriku saat duduk di bangku sekolah dasar.
“Temukan masalah di hulu bukan di hilir” — Bob Sadino. Banyak cerita yang aku lalui hingga duduk di bangku kuliah, aku menemukan perubahan yang sangat besar dibandingkan tiga jenjang pendidikan yang aku lalui sebelumnya, aku mulai menjumpai banyak orang yang eksis dengan segudang prestasinya. Seperti mendapatkan beasiswa, menjadi pembicara pada seminar, mempunyai kemampuan bahasa asing yang mumpuni, menjadi duta, menjuarai berbagai ajang lomba nasional, ikut dalam mengabdi pada masyarakat, ikut dalam proyek dosen, dan berbagai pencapaian lain yang terlihat mustahil aku peroleh. Kendati demikian, aku mulai tergerak untuk mencari akar dari masalah ketidakpercayaan diriku. Aku mulai berpikir “Mengapa aku bersikeras untuk memenuhi ekspektasi berlebihan terhadap diriku sendiri? Mengapa aku tidak se-percaya diri ini? Apa jalan terbaik yang harus aku lalui?” dan berbagai pertanyaan serupa muncul di pikiranku. Hingga, terbesit jawaban dari akar masalah selama ini di kepalaku, aku tidak pernah mengevaluasi hal yang menjadi kekuranganku dan tidak pernah mencoba untuk memperbaikinya sedikit demi sedikit, aku hanya sibuk membandingkan diriku dengan orang lain tanpa melakukan aksi nyata untuk sebuah perubahan.
Sebuah pemikiran yang sederhana, tapi mampu merubah pola pikirku. Aku mulai melihat insecure dari sudut pandang yang positif, dengan rasa tidak percaya diri yang aku pupuk sejak sekolah menengah pertama, aku menyadari bahwa diriku sangat mengetahui apa yang menjadi kekuranganku. Aku tersadar bahwa rasa insecure memiliki manfaat dalam perkembangan diriku, tergantung bagaimana aku mengelolanya.
Orang yang mengenal dirinya sendiri, tahu kekurangan dirinya, tahu batas dalam melakukan segala sesuatu, itu adalah orang yang dalam kurun waktu tertentu memahami hal-hal yang menjadi potensinya, mereka adalah orang yang tahu keterampilan apa yang mereka perlu tingkatkan. Aku menjadi tersadar, jika aku tidak tahu apa kekurangan yang aku miliki, bagaimana kedepannya aku bisa meningkatkan diriku? Dengan mengetahui kekuranganku, aku bisa mengetahui hal yang harus aku tingkatkan dan hal yang perlu aku pelajari.
Caraku berdamai dengan rasa insecure adalah dengan fokus memperbaiki kekurangan yang aku miliki dan meningkatkan kelebihan yang aku miliki. Untuk memperbaiki kekuranganku yaitu dengan cara berubah. Apa yang perlu aku lakukan untuk berubah? Tentu saja, aku harus konsisten. Memutuskan untuk memperbaiki diri, jika dibayangkan rasanya gampang, namun saat aku menjalaninya ternyata sangat sulit untuk konsisten pada perubahan itu. Aku nyatanya, hingga kini masih harus belajar menjadi orang yang konsisten.
Kemudian, hal yang aku harus lakukan untuk berdamai dengan insecure adalah bahwa aku harus menyadari bahwa diriku mempunyai potensi dan kelebihanku sendiri, aku tidak perlu bersusah payah untuk terlihat sama dengan orang lain, aku tidak perlu bersusah payah untuk terlihat multi talenta. Justru, jika aku serakah, maka aku bukannya memutus akar dari masalahku sebelumnya, malahan aku menyambung akar masalah tersebut dengan masalah lain. Selain itu, caraku untuk berdamai dengan rasa percaya diriku adalah dengan memberikan apresiasi terhadap diriku, ketimbang menyalahkan diri atas apa yang terjadi jika sewaktu-waktu aku gagal dalam memenuhi ekspektasi pribadiku.
Hingga kini, aku masih berusaha untuk memperbaiki hal yang menjadi masalahku, mulai dari pola pikir, kebiasaan, dan rasa percaya diriku. Segalanya jika dijalani dengan sungguh-sungguh dan konsisten, pasti akan menjumpai hasil yang baik. Aku harap ceritaku ini, dapat membawa perubahan bagi orang yang mempunyai masalah yang sama denganku, dengan ketidakpercayaan pada diri sendiri.
Ivana Febrianty