Perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran pemuda. Di era kemerdekaan, pemuda sangatlah krusial menghimpun diri dalam organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya perjuangan yang terorganisir dan masif hingga berhasil mengibarkan sang saka merah putih.
Memasuki masa Orde Baru, pemuda utamanya mahasiswa juga tidak kalah pentingnya. Kampus menjadi ujung tombak dalam meruntuhkan kekuasaan otoritarianisme dan mewujudkan demokrasi. Sehingga menjadi tonggak sejarah baru yakni peristiwa reformasi.
Setelah reformasi, mahasiswa seyogyanya masih mengambil peran penting sebagai sosial of control dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kampus pun dituntut untuk mengawal kebijakan-kebijakan dengan pikiran kritis dan sikap yang berpihak terhadap keadilan.
Seperti yang pernah disampaikan, Pramoedya Ananta Toer, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.” Merujuk dari perkataan Pram, harusnya yang paling tersinggung adalah mahasiswa, sebagai kaum intelektual yang berpikir dan hidup dalam ide-ide besar. Pemuda harusnya memastikan setiap kebijakan dari penguasa bersifat adil dan ideal melalui pengawalan yang dilakukan.
Tidak bisa dipungkiri keberhasilan mahasiswa pada era-era sebelumnya tak lepas dari kesadaran diri dalam membangun gerakan kolektif dan menghimpun diri dalam satu perjuangan. Wadah tersebut salah satunya lembaga mahasiswa. Maka kesadaran sebagai kaum intelektual harusnya mengakar dalam kehidupan lembaga mahasiswa.
Lembaga mahasiswa sebagai organisasi yang melahirkan insan-insan pemikir, minimal mempunyai dua fungsi, pertama sebagai wadah pembentuk jiwa kepemimpinan, yang biasa dinamakan kaderisasi dalam rangka melahirkan sumber daya manusia unggul dan berkualitas.
Kedua sebagai tempat perjuangan, wadah pergerakan dalam mewujudkan keadilan dan kemanusiaan. Namun realitas yang terjadi hari ini, lembaga mahasiswa terkesan mengabaikan fungsi yang kedua. Terbukti dari gerakan mahasiswa yang hanya monoton dan terjebak dalam rutinitas internal semata dan lupa akan fungsinya sebagai penyambung lidah rakyat.
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Rocky Gerung pernah berkata, “Selain mencatat pahlawan, sejarah yang baik juga mencatat para penghianat.” Mahasiswa yang mengawal kebijakan dengan pikiran alternatif akan tercatat harum dalam sejarah meskipun tidak mengubah apa-apa setidaknya telah berjuang. Sedangkan, pemuda yang mendiamkan ketidakadilan dan berpotensi merusak tatanan kehidupan generasi ke depannya, akan menjadi catatan buruk dalam sejarah. Oleh karena itu, pilihannya cuma dua, berjuang sebagai pahlawan atau diam sebagai penghianat?
Mengawal kepentingan pemangku kebijakan dari semua jenjang, mulai dari pemerintah pusat, daerah, hingga ke perguruan tinggi yakni birokrasi kampus. Kampus yang memiliki benteng sekaligus senjata jitu yaitu kebebasan akademik, harusnya dipahami oleh para pejabatnya sebagai kebebasan untuk mengucapkan pikiran alternatif. Namun sering kali pejabat kampus melakukan pengekangan dan intervensi terhadap lembaga mahasiswa. Hal tersebut terjadi di hampir semua universitas tidak terkecuali Universitas Hasanuddin.
Pengekangan dan intervensi birokrasi kampus terhadap lembaga mahasiswa semata-mata untuk memuluskan kepentingan yang diinginkan, tentu akan merusak demokrasi dan melecehkan kebebasan akademik dan itu harus dilawan!
Lembaga mahasiswa harusnya bersifat independen, bebas dari berbagai intervensi baik faktor eksternal. Dalam lingkup Unhas, dibutuhkan kesadaran lembaga kemahasiswaan dalam menjalankan fungsinya. Harusnya mahasiswa sadar untuk bersama-sama menghimpun kekuatan dalam satu wadah pergerakan untuk mengawal kebijakan kampus.
Namun perhimpunan mahasiswa bukan semata-mata karena intervensi yang justru akan melahirkan perpecahan dalam internal wadah pergerakan lembaga mahasiswa. Perhimpunan lembaga mahasiswa dalam satu wadah gerak harus terlepas dari intervensi birokrasi kampus dan faktor eksternal lainnya.
Sesuai kata Najwa Shihab, “Jika terbelah niscaya perkara kekuasaan, tidak ada yang pecah karena gagasan”. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pengawalan kebijakan baiknya dilakukan dalam wadah bersama, namun kesatuan dalam perhimpunan belum tercapai bukan tidak mungkin tidak ada yang bisa lembaga mahasiswa lakukan, Bisa menjadi alternatif apabila setiap lembaga mahasiswa mulai dari skala fakultas, himpunan, sampai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mengawal kebijakan dan berteriak secara bersama-sama melalui lembaganya masing-masing.
Tentunya mahasiswa Unhas melalui lembaganya harusnya tidak mengabaikan fungsinya sebagai wadah perjuangan. Mahasiswa tidak semestinya diam atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat seperti UU yang menindas dan kebijakan birokrasi kampus yang kontroversial seperti penambahan kouta jalur mandiri dan pembangunan hotel pada masa pandemi yang notabene keadaan ekonomi dan orang tua mahasiswa sedang sulit. Kebijakan tersebut menghina dan jauh dari kata humaniversity justru bersifat dehumaniversity.
Maka itu mari bersama-sama teriak atas kebijakan yang tidak berpihak kepada keadilan dan mengawal pengelolaan anggaran dari pemerintah maupun kampus pada masa pandemi ini yang rawan untuk dirampok oleh oknum-oknum kekuasaan. Ayo memilih berjuang melanjutkan agenda reformasi dan mencatatkan sejarah harum bagi perjalanan bangsa dan almamater atau hanya diam serta akan tercatat sebagai penghianat!
Penulis Muhammad Shidiq
merupakan mahasiswa Ilmu Kelautan FIKP Unhas, angkatan 2017