Menuju yang tak terbatas dan melampauinya
Sebagian besar orang pastinya pernah mendengar kalimat di atas. Kalimat yang sering dikatakan Buzz Lightyear, sebuah mainan luar angkasa yang muncul di film Toy Story. Film yang digarap sutradara John Lasseter, dirilis oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista Distribution di Amerika Serikat Pertengahan November 1995.
Buzz Lightyear hadir sebagai hadiah ulang tahun Andy, sang pemilik mainan yang dapat berbicara dan hidup layaknya manusia. Kehadirannya di tengah-tengah mainan milik Andy yang lain, membuat mereka kagum dan menumbuhkan rasa kecemburuan Woody.
Koboy Woody yang awalnya merupakan salah satu mainan kesayangan Andy, semenjak kehadiran Buzz segala pernak-perniknya mulai dari hiasan dinding hingga barang-barang Woody diganti dengan milik mainan luar angkasa itu.
Buzz awalnya merasa bahwa dirinya adalah seorang petualang luar angkasa yang berusaha menyelamatkan dunia dari serangan Zurg dan melupakan kenyataan bahwa dirinya hanyalah sebuah mainan anak-anak.
Kecemburuan Woody memuncak, semakin Buzz bertingkah layaknya angkasawan, memamerkan kedua bilah sayap dan laser penembak yang ada di tangan kanannya membuat ia berteriak di hadapan Buzz bahwa “Kamu hanyalah sebuah mainan”.
Seakan tidak peduli dengan kalimat Woody yang menjatuhkan mentalnya. Setiap kali Buzz melakukan lompatan, ia selalu mengucapkan kalimat “menuju yang tak terbatas dan melampuinya”. Kemudian ia melompat dan bermanuver di udara, menggunakan kiri dan kanan sayapnya serta membuat mainan lain yang melihat berdecak kagum.
Cerita itu mengawali naskah cermin penulis kali ini, bercerita sedikit tentang perjuangan orang lain yang rasanya layak dimuat ke khalayak untuk edisi November. Sebagai cerminan diri, bahwa sejatinya ketidakmampuan seseorang berawal dari buah pikirannya sendiri.
Kumandang azan Ashar bergema, menyusup masuk di antara celah-celah padatnya bangunan kota metropolitan Makassar. Menandakan mata kuliahku hari ini berakhir. Bergegas ku menghadap panggilan itu.
Jarum panjang di arlojiku menunjukkan angka 12, dan jarum pendeknya menunjuk angka empat, sontak saja teringat pesan Ibu untuk mengambil barang hari ini. Lalu lalang kendaraan Jalan Perintis Kemerdekaan, sedikitpun tidak mengikis niatku membantunya.
Lelah seharian duduk memandangi dosen dan materi yang diberikan, pun seakan bukan menjadi penghalang niat itu. Kupacu sepeda motor fino 125cc melewati celah kosong di antara badan mobil yang lalu lalang hari ini. Bukan tanpa alasan, bus yang akan mengantarkan barang pesanan itu, beranjak pergi dari perwakilan menuju kampung halamanku tepat pukul 17:00 WITA.
Setengah jam berlalu, tibalah aku di toko tempat mengambil barang. Toko percetakan di seberang Jalan Irian itu, memang sudah menjadi langganan keluarga kami. Tatkala pemilik toko melihat kedatanganku, sontak ia menunjuk barang yang akan kubawa tanpa perlu memberitahukan maksud dan tujuan sebelumnya.
Tumpukan kalender yang terikat rapih, beratnya kutaksir sepuluh sampai lima belas kilo itu kubawa menuju Jalan Buru, tempat bus menjemput barang-barang ini. Kuletakkan kalender itu di dalam ruang tunggu armada bus, tepatnya di bawah tangga ruangan. Lalu, kembali kulirik arlojiku. Lima belas menit lagi sebelum bus itu tiba di perwakilan. Barang terakhir yang harus ku ambil letaknya di Pasar Sentral Makassar. “Masih sempat!,” begitu harapku.
Selang beberapa menit tibalah aku di pasar itu, kumanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk kembali menyusuri pasar mencari kain pesanan Ibu. Bersyukur tidak terlalu jauh aku melangkah kutemukan penjual yang menyediakan barang yang kucari.Bergegas aku kembali ke perwakilan, dari kejauhan terlihat kondektur bus tengah sibuk mengatur barang bawaan penumpang. Beruntungnya, penumpang lumayan banyak sehingga bus yang akan membawa barang ini belum pergi.
Sejenak aku diam memandangi barang-barang tadi, penat menjalar di sekujur badanku. Aku berpikir untuk mengangkat barang itu sendiri ke dalam bus. Beruntungnya kondektur itu mengerti, kemudian ia mengangkatkan semua barang tadi ke dalamnya. Tanpa perlu menunggu bus itu pergi, bergegas aku pulang beristirahat.
Rutinitasku hari ini belum berakhir sampai di situ, setelah beristirahat sejenak, kembali kucoba berdamai dengan layar laptop menyelesaikan tugas redaksi Penerbitan Kampus identitas Unhas yang harus selesai malam ini juga.
Belajar dari cerita itu, penulis tidak ingin membanggakan temannya sendiri. Begitu banyak anak rantau diluar sana yang memiliki kesibukan tidak hanya sekadar menuntut ilmu. Sebagian dari mereka bahkan ada yang bekerja paruh waktu, menjual makanan di kampus ataupun menjadi tukang ojek.
Mereka tidak pernah membatasi diri, kerasnya hidup di kota orang membuat mereka menjadi pejuang yang tangguh. Untuk itu, kepada pembaca dan diri penulis yang sedang memperjuangkan cita-citanya, jangan ragu untuk berbuat, tetap yakin bahwa tidak ada cita-cita yang terlalu tinggi, tidak ada harapan yang terlalu dalam, dan tidak ada keinginan yang terlalu luas.
Muh. Irfan
Mahasiswa Teknik Elektro
Angkatan 2016