Sejak dulu, sejumlah peneliti mengembangkan beberapa riset untuk menemukan jejak-jejak manusia di masa lampau. Salah satunya, dengan menelusuri genom tulang-belulang manusia purba. Profesor Sangkot, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, bersama timnya menelusuri terkait persebaran populasi di Asia.
Benarkah Asia Tenggara menjadi pusat penyebaran populasi di Asia? Lalu, bagaimana hubungannya dengan DNA? Berikut kutipan wawancara Reporter identitas, Hikmah Meilani bersama Profesor Sangkot setelah membawakan materi mengenai Genom pada The 2nd International Conference on Global STS (Science, Technology, and Society) di Benteng Fort Rotterdam Makassar, Kamis (25/7) :
- Sebagai ahli genetika molekuler, bagaimana cara menilai hubungan populasi dengan DNA?
DNA itu memang sangat berkaitan dengan hubungan populasi manusia. Hubungan populasi manusia, atau misalnya hubungan antara dua manusia itu dapat terlihat dari beberapa perbedaan genetiknya melalui DNA. Setiap DNA organisme, termasuk manusia, selalu mengalami mutasi yang belum tentu menyebabkan penyakit, disebutnya mutasi netral. Makin besar perbedaan genetiknya, maka jarak kedekatan hubungan populasi makin jauh atau evolusinya jauh.
- Apakah perbedaan suku dari dua manusia menunjukkan jauhnya hubungan DNA tersebut?
Ya betul. Misalnya hubungan DNA antara Bu Nana (Sekretaris) dan Meilani itu perbedaannya pasti lebih kecil dari perbedaan dengan saya karena kalian berdua sama-sama Suku Bugis. Namun itu tidak berlaku jika hanya dua orang. Sebab, untuk studi kita butuh setidaknya 30-an orang yang kita yakin benar-benar latar belakangnya hingga tiga generasi ke atas. Lalu kita lihat perbedaannya, rata-ratanya berapa dibanding dengan grup lain dan sebagainya.
- Apakah Asia Tenggara menjadi pusat persebaran populasi di Asia?
Berdasarkan hasil yang kami dapat dan telah kami beri judul Mapping Human Genetic Diversity in Asia, penyebaran utamanya dari Afrika menyusuri pantai lewat India, masuk ke Asia Tenggara yang pada saat itu masih satu dengan Asia. Dari situ mereka menyebar. Namun, sampai sekarang hal ini menjadi perdebatan karena apa yang kami temukan berbeda dengan yang ditemukan oleh peneliti dari Eropa.
- Lalu, bagaimana dengan asal usul bangsa Indonesia? Apakah kita memiliki kedekatan DNA dengan salah satu suku di Taiwan?
Mengenai hal ini kita masih berselisih. Berdasarkan teori linguistik memang ada kedekatan bahasa dan disinyalir memang dari Taiwan. Sedangkan secara genetika data, kita justru sebaliknya. Bisa saja dari Asia Tenggara naik ke sana kemudian balik lagi ke Asia Tenggara, tapi ini kan waktunya puluhan ribu tahun yang lalu jadi masih butuh waktu untuk diketahui.
- Selain untuk mengetahui kedekatan dan hubungan kekeluargaan, apalagi fungsi DNA yang jarang diketahui masyarakat?
Risiko penyakit yang terkandung dalam gen dapat dideteksi melalui tes DNA. Misalnya diabetes melitus hingga penyakit kanker.
- Lantas, bagaimana awalnya Anda bergelut dengan dunia biologi molekuler seperti ini?
Saya memang studi kedokteran di Universitas Indonesia saat saya S1. Namun, saya baru betul-betul belajar dengan matang saat saya studi mengambil Master di Universitas Mahidol, Bangkok.
- Kemudian Anda melanjutkan studi lagi di Monash University. Apa tantangan paling berat yang prof hadapi selama meniti karir di negeri kanguru tersebut?
Di tahun 1970-an saat itu, tantangannya cukup berat. Saat itu sedikit sekali orang Asia yang bisa menjadi dosen Australia. Di sana, saya harus yakin dulu bahwa saya itu bukan hanya compete tapi harus bisa lebih dari yang lain karena menurut saya kalau kita, orang Asia, hanya sama dengan mereka itu biasa. Oleh karena itu, sebagai ilmuwan, setelah banyak publikasi ilmiah yang saya lakukan hingga internasional, barulah saya yakin untuk mengambil mahasiswa dari Indonesia dan Thailand.
- Apa pesan Anda untuk mahasiswa Unhas agar mampu melakukan riset yang kontributif?
Pertahankan rasa ingin tahu. Itu yang penting. Kita kan lahir sebenarnya dengan rasa ingin tahu. Dengan kita di Indonesia, keingintahuan itu ditekan dan itu bukan sesuatu yang baik. Budaya kita itu budaya yang tidak menganjurkan untuk tidak ingin tahu, sebagai contoh anak kecil kan biasa dimarahi kalalau salah. Hal inilah yang sebenarnya menghambat rasa ingin tahu itu. Setelah rasa ingin tahunya kuat, harus punya passion. Passion itu akan mengantar pada mimpi yang besar.
Data Diri :
Nama : Profesor Sangkot
TTL : Medan, Sumatra Utara, 2 Maret 1944
Jenjang Pendidikan :
-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1968)
-Universitas Mahidol, Bangkok, Thailand (M Sc, 1971)
-Universitas Monash, Australia (Ph D, 1976)
Jenjang Karir :
–Direktur Lembaga Eijkman pada tahun 1992-2014
-Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Penghargaan:
–Order of Australia tahun 2010
-Bintang Mahaputra Utama RI pada tahun yang sama.