Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu ancaman kesehatan terbesar di Indonesia. Penyakit ini bukan hanya menyerang kalangan usia lanjut, tetapi juga semakin banyak ditemukan pada kelompok usia produktif. Menurut data International Diabetes Federation (IDF), Indonesia berada di peringkat keenam dunia dengan jumlah penderita diabetes terbanyak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018, kasus diabetes di Indonesia meningkat dari 6,9 persen pada 2013 menjadi 8,5 persen pada 2018. Kenaikan ini menunjukkan konsumsi makanan tinggi gula, serta kurangnya aktivitas fisik sebagai faktor dominan dalam penyebaran penyakit metabolik ini.
Kondisi ini mendorong banyak peneliti mencari solusi alternatif yang tidak semata bergantung pada obat kimia. Salah satunya Lulusan Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Alifka Rahmayanti Jamaluddin SKM MKM melakukan penelitian yang berjudul “Efek Hipoglikemik dari Biskuit Kulit Pisang Raja (Musa sapientum L.) di Maros, Indonesia”.
Awalnya, Rahmayanti mencari bahan alami yang dapat membantu menurunkan kadar gula darah tanpa menimbulkan efek samping. Setelah menelusuri berbagai jurnal ilmiah, ia menemukan bahwa kulit pisang memiliki kandungan antioksidan.
Pisang adalah buah tropis yang mudah tumbuh di Indonesia. Namun, kulitnya sering dianggap limbah dan dibuang begitu saja. Oleh karena itu, Rahmayanti melakukan penelitian dengan memanfaatkan limbah pisah menjadi inovasi yang dapat menurunkan kadar gula darah.
Berdasarkan penelusurannya, ia menemukan salah satu jenis pisang yang memiliki kandungan antioksidan paling tinggi dibandingkan jenis pisang lainnya, yaitu pisang raja. Jenis buah ini mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan tanin yang dapat menurunkan kadar gula darah dan berfungsi sebagai antioksidan alami bagi tubuh.
Dari temuan tersebut, Rahmayanti mengembangkan kulit pisang raja menjadi tepung pengganti terigu. Tepung ini kemudian diolah menjadi biskuit rendah kalori dengan tambahan pemanis alami dari daun stevia.
“Penderita diabetes melitus umumnya sulit mengontrol keinginannya untuk ngemil karena sering merasa lapar. Nah, biskuit ini bisa dibilang camilan yang dapat dimakan oleh semua usia dan bisa dapat mengganjal lapar,” terangnya saat diwawancarai, Jumat (17/10).
Proses pembuatannya pun sederhana. Kulit pisang dijemur hingga kering, kemudian digiling menjadi tepung halus. Tepung tersebut dicampur dengan margarin, kuning telur, stevia, dan sedikit tepung jagung, lalu dioven hingga kering.
Hasilnya adalah biskuit dengan rasa manis alami dan tekstur renyah, serta aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Rahmayanti memilih bentuk biskuit karena praktis dan mudah diterima semua kalangan.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Marusu dan Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada 2024. Sebanyak 40 pasien DM dilibatkan dan dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama berjumlah 20 orang sebagai kelompok kontrol yang hanya mengonsumsi obat metformin. Sementara itu, 20 orang lainya sebagai kelompok intervensi yang mengonsumsi metformin plus biskuit kulit pisang selama 14 hari.
“Kita datang ke setiap rumah untuk mengontrol dan memastikan agar hasil yang targetkan benar-benar tercapai,” bebernya.
Setiap peserta kelompok intervensi mendapat dua keping biskuit per hari yang masing-masing dikonsumsi pada pukul sepuluh pagi dan empat sore. Penentuan dua potong biskuit per hari didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan zat aktif untuk menurunkan kadar gula darah.
Setelah dua minggu, kadar gula darah pada kelompok intervensi menurun sebanyak 10,4 persen. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang hanya turun 1,8 persen. Dengan demikian, hasil tersebut membuktikan bahwa biskuit kulit pisang raja berpotensi sebagai pangan fungsional yang membantu pengendalian gula darah.
Dalam uji rasa (organoleptik), biskuit ini dinilai enak dan disukai oleh mayoritas panelis. Dengan kata lain, inovasi ini tidak hanya efektif secara medis, tapi juga layak dikembangkan secara komersial. Kulit pisang yang sebelumnya terbuang dapat dijual kepada pelaku usaha yang memproduksi biskuit fungsional.
Melalui inovasi ini, peneliti dapat berkolaborasi dengan pelaku UMKM pengolah pisang untuk menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang saling menguntungkan. “Mereka saya bayar untuk kulit pisangnya sehingga mereka dapat untung, saya juga dapat bahan baku,” ujarnya.
Rahmayanti juga berencana melakukan uji lanjutan terkait daya simpan dan penerimaan masyarakat agar produk ini bisa dikembangkan secara luas. Ia juga berharap temuannya bisa menjadi inspirasi bagi peneliti lain untuk memanfaatkan bahan alami di sekitar kita.
“Bukan cuma kulit pisang, tapi kulit buah naga atau biji alpukat juga bisa diolah untuk menurunkan gula darah,” katanya optimis.
Jika dikelola dengan baik, inovasi biskuit kulit pisang raja dapat menjadi produk unggulan daerah yang memadukan nilai gizi, keberlanjutan lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi. Tidak hanya membantu penderita diabetes, tapi juga mengurangi limbah organik yang kerap mencemari lingkungan.
Ismail Basri
