Penulis : Faisal Oddang
Tanggal Terbit : 23 April 2018
Jumlah Halaman : 212
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Diruang penyekapan tanpa wc dan air, tanpa harapan, tanpa seonggok daging di dalam mulutnya yang membantunya berbicara, hanya bisa menghabiskan lembar demi lembarkertas untuk menguliti sejarah yang ingin diketahui tuan penyekapnya,disertai siksaan dan penderitaan.
Sepenggal cerita seorang mantan toboto atau bissu, yang dalam kepercayaan bugis sebagai penghubung dengan dewa dan manusia. Bissu tidak memiliki gender, mereka tidak menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan.
Menggunakan tokoh bissu ini, Faisal Oddang mampu menggambarkan kisah yang terjadi pada tahun 1950 di tanah itu.Dimana bertahun-tahun lalu di tanah bugis sempat terjadi pertumpahan darah karena para Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) menginginkan pengakuan oleh TNI/APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia).
KGSS yang lebih dikenal sebagai tentara gurilya ini, dicap sebagai pemberontak karena tak mendapat pengakuan. Mereka sangat anti dengan tentara TNI/APRIS, juga menuntut dan ingin mendirikan negara islam.
Tentara gurilla juga sangat tidak menyukai para Bissu, walau sang penghubung dewa ini sangat dihormati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena bagi mereka apa yang dilakukan para Bissu sangat menentang agama islam. Selain dianggap menyalahi kodrat, para Bissu disebut penyembah berhala dan mengagungkan kris dan mempunyai ilmu hitam.Walau sebenarnya sebagian Bissu memang kebal dari benda tajam. Namun itu hanya untuk orang-orang yang terpilih oleh Dewata Sewwae.
Percintaan dan penghianatan juga menjadi bumbu dalam setiap naskah novel ini. Bagaimanahancur perasaan seseorang ketika melihat kekasih yang dicintainya dilahap anjing-anjing dengan buasnya. Sedangkan tangan dan kakinya tidak mampu bergerak untuk menolongnya. Bissu memiliki kekasih laki-laki harus menanggung itu, rasa sakit kerena cintanya dianggap terlarang.
Lantas apa yang dapat dilakukan, sekuat apapun bissu ini memaksa untuk mencintai perempuan yangmenjadi kodratnya. Namun tetap saja yang membuatnya bersemangat tetaplah laki-laki. Bukankah Tuhan yang menciptakan rasa cinta.
Buku yang di tulis alumni Universitas Hasanuddin ini, memiliki kelebihan tersendiri. Mengangkat cerita berlatar bugis yang selama ini jarang terekspos, berbicara tentang adat, dan kebudayaan bugis yang mungkin sudah sangat jarang diketahui oleh khalayak luas. Faisal Oddang juga sangat berani untuk mengangkat isu terkait dengan orientasiseksual yang selama ini cukup tabu di masyarakat.
Alur yang maju mundur seakan membuat pembaca untuk menahan nafas menanti bagaimana akhir dari cerita.Perasaan marah, sedih, kecewa, senang dan terkejut akan menemani sepanjang bacaan novel ini. Cerita dan alur yang dibangun juga tidak mudah untuk ditebak.
Buku ini direkomendasikan bagi khlayak umum, khususnya bagi kamu yang tertarik dengan sejarah di tanah bugis, namun tidak untuk anak dibawah umur. Novel ini terbilang berani, karena secara gamblang dan jelas menggambarkan hal yang berkaitan dengan sensualitas pada beberapa bagian novel. Selain itu pembaca juga akan menemukan beberapa kata yang rumit dan baru sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Kamu akan banyak menemukan hal baru yang jarang ditemui, selamat membaca!
Renita