Isu bonus demografi dan ketenagakerjaan menjadi topik hangat yang selalu dibicarakan. Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai bonus demografi melalui ketenagakerjaan adalah menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Menurut Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), total jumlah PMI pada periode Januari hingga Desember 2023 mencapai sebanyak 273.747 orang. Prospek PMI kerap kali dilihat sangat menjanjikan karena dibayar dalam jumlah yang tinggi sesuai dengan standar sebuah negara tempat bekerja. Hal inilah yang kemudian mendorong masyarakat Indonesia berlomba untuk bekerja di luar negeri.
Namun, apakah menjadi PMI adalah solusi terbaik dalam mencapai bonus demografi, dan bagaimana problematika ketenagakerjaan Indonesia kini? Berikut wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Najwa Hanana, bersama Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk bidang ketenagakerjaan, Prof Dr HM Tahir Kasnawi SU, Rabu (06/03).
Bagaimana Anda melihat hubungan antara isu ketenagakerjaan dan bonus demografi di Indonesia?
Bonus demografi dicapai ketika tenaga kerja memiliki keahlian, keterampilan dan latar belakang sumber daya manusia (SDM) unggul. Kemudian masyarakat juga terserap dalam lapangan kerja yang layak. Tetapi sebaliknya, jika era bonus demografi yang dicanangkan di tahun 2045 diisi oleh tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan, pendidikan, dan di lain sisi tidak tersedia lapangan kerja yang cukup, maka bonus demografi tidak akan tercapai, bahkan akan menjadi bencana demografi.
Pembangunan ekonomi harus dilihat dari tenaga kerja. Keterampilan dan karakter perlu disiapkan sehingga dapat berperan sebagai penyumbang nilai tambah dalam pembangunan ekonomi. Hal ini akan memberikan kesejahteraan untuk masyarakat dan negara.
Bagaimana menurut Anda terkait Pekerja Migran Indonesia?
PMI itu menjadi salah satu pilihan pekerjaan. Banyak negara yang telah menyiapkan kesempatan itu. Misalnya di Timur Tengah, di sana pembangunan sangat maju sehingga membutuhan tenaga kerja. Namun persoalannya, apakah penyerapannya memenuhi jumlah yang bisa mengurangi pengangguran di dalam negeri, dan apakah pekerjaannya itu bisa menghasilkan upah yang layak dan tinggi sehingga bisa dikirim ke keluarganya dalam bentuk devisa.
Apakah menjadi PMI merupakan solusi terbaik untuk mengatasi isu ketenagakerjaan?
Kenyataannya, di luar sana, pekerja migran kerap menjadi pekerja rendahan seperti pembantu rumah tangga, pekerja kebun. Dan jumlah yang diserap ke luar negeri tidak begitu membawa hasil yang tinggi. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dalam negeri harus menjadi penyerap tenaga kerja yang banyak.
Bagaimana peran pendidikan dalam mempersiapkan PMI?
Pendidikan sangat strategis dalam mempersiapkan anak muda untuk memasuki usia kerjanya nanti. Pendidikan yang dibutuhkan ke depannya akan berfokus pada kompetensi, keterampilan, komunikasi baik, dan etos kerja tinggi.
Etos kerja Indonesia sendiri masih sangat tertinggal dengan negara lain, seperti Jepang, Korea, bahkan Malaysia dan Singapura. Maka etos kerja Indonesia perlu dibangkitkan sehingga tenaga kerja Indonesia dalam berbagai aspek seperti kualitas bisa unggul. Untuk itu pendidikan harus menyesuaikan dengan dunia kerja masa mendatang.
Apakah perbedaan gender berpengaruh terhadap partisipasi tenaga kerja?
Perbedaan gender tidak terlalu signifikan terhadap partisipasi dalam pembangunan ekonomi. Perempuan dan laki-laki memiliki daya saing dan peluang yang sama. Dalam industrisasi dan peningkatan bidang jasa tenaga perempuan banyak dibutuhkan. Dalam bidang pendidikan perempuan meningkat dalam hal daya saing yang tinggi.
Apa saja langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia?
Kita perlu pembenahan dalam bidang pendidikan dan menyeimbangkan antara supply tenaga kerja dengan permintaan lapangan kerja.
Tenaga kerja Indonesia banyak secara kuantitas, tapi kurang secara kualitas. Mereka kalah dalam bersaing, sehingga tenaga kerja muda Indonesia masih perlu dibenahi dan ditingkatkan secara kualitas.
Masyarakat Indonesia ke depan jangan selalu berpikir menjadi orang yang mencari upah, tetapi juga harus mandiri dengan berwirausaha. Dan hal ini kembali lagi pada sistem pendidikan yang harus mendukung.
Data Narasumber:
Nama: Prof Dr HM Tahir Kasnawi SU
Riwayat Pendidikan:
S1: Universitas Hasanuddin (1976)
S2: Universitas Gadjah Mada (1985)
S3: The Flinders University of South Australia (1991)
Penulis: Satriulandari