Berbicara tentang Yogyakarta adalah bercerita tentang kartun Tom & Jerry, tak akan pernah ada habisnya. Kesenduan senja Monumen Tugu, keramaian Malioboro, dan kemegahan Candi Ratu Boko seakan telah mewakili cerita tentang Yogyakarta, padahal masih banyak lagi cerita tentang Yogyakarta yang belum tertangkap oleh mata.
Satu di antara berbagai cerita tersebut adalah Candi Ijo yang berlokasi di area Bukit Ijo, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Dua bulan yang lalu sejak tulisan ini saya tulis, saya menjadi salah satu orang yang beruntung untuk mengunjungi candi ini. Saya merasa beruntung karena kunjungan saya seperti kunjungan suci ke tempat suci, sebab masa pandemi (yang sudah beralih ke masa new normal) yang membuat tempatnya masih sepi. Setiap langkah terasa lebih sakral karena aura kewibawaan candi yang terasa semakin kental.
Candi Tertinggi dan Jejak Arkeologi
Kali pertama menginjakkan kaki di sini, saya dibuat takjub oleh sebuah fakta tentang Candi Ijo ini. Seorang petugas tiket menyatakan bahwa candi ini, yang notabenenya tidak semasyhur Candi Ratu Boko, adalah candi yang paling tinggi di Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh letak Candi Ijo yang berada di atas sebuah bukit dengan tinggi sekitar 410 meter di atas permukaan air laut.
Karena ketinggian inilah, saya bisa menikmati pemandangan alam di bawahnya yang berupa ladang-ladang hijau kekuning-kuningan, sesuai dengan musim saat itu, musim kemarau. Tak hanya pemandangan ladang, dengan melihat ke arah barat bagian bawah, saya dapat melihat pemandangan Bandara Adisutjipto dari jauh. Sesekali akan ditemui pesawat sedang take off dan terkadang akan dilihat sebuah pesawat mendarat.
Setelah melewati loket, tampak di samping kompleks utama candi sedang dilakukan semacam penggalian. Rupanya pencarian jejak-jejak sejarah masih terus dilakukan di area situs Candi Ijo. Mengamati hal ini, agaknya luas Candi Ijo bisa jadi jauh lebih besar dari yang tampak saat ini. Beberapa batu yang sudah diberi kode (yang mungkin hanya bisa dipahami oleh para arkeolog dan beberapa orang yang memiliki wawasan yang cukup dalam bidang arkeologi) juga tampak diletakkan secara khusus di tempat yang agak jauh. Mungkin agar tidak tercampur dengan batu-batu yang belum diberi kode.
Memang benar, mengunjungi candi adalah hal yang berbeda dengan mengunjungi pantai. Area pantai lebih identik dengan keceriaan dan permainan, sedangkan wilayah candi lebih cenderung menggambarkan keheningan dan perenungan. Candi membuat saya merenung bahwa sejarah merupakan peninggalan berharga yang harus dijaga oleh pemiliknya. Karena tanpa sejarah, sebuah Negara bisa saja akan kebingungan, bahkan bisa kehilangan perihal identitasnya.
Mengapa Dinamai Ijo?
Pada mulanya, sebelum sampai di Candi Ijo saya mengira penamaan ini disebabkan oleh bangunan candi yang didominasi warna hijau. Ternyata sesampai di sana, tak ada warna hijau sama sekali pada bangunan candi. Semua bangunan candi memiliki warna sebagaimana warna candi di seluruh penjuru nusantara.
Akhirnya, rasa penasaran saya terjawab ketika saya melepas lelah di area parkir wisata Candi Ijo. Di area parkir ini, tersedia semacam tempat nongkrong yang menyuguhkan pemandangan hijau wilayah perbukitan dengan nama Ijo Kuliner. Di tempat inilah saya memahami bahwa penamaan itu disebabkan oleh letak candi yang berada di wilayah Bukit Ijo atau Gumuk Ijo. Atas dasar geografis ini, candi mendapatkan nama Candi Ijo.
Keberadaan warung Ijo Kuliner sejatinya juga mendukung daya tarik Candi Ijo. Penyebab utamanya adalah mengelilingi candi adalah hal yang melelahkan, sehingga dibutuhkan tempat untuk mengistirahatkan badan. Rasa lelah menjadi pasti karena semua candi bersifat outdoor, sehingga para pengunjungnya akan berhadapan langsung dengan sinar matahari.
Tentu tidak mungkin mengunjungi candi di malam hari, kecuali dalam rangka festival tertentu. Oleh sebab itu, warung Ijo Kuliner akan menguatkan persepsi wisatawan bahwa mengunjungi Candi Ijo layak dilakukan, sebab di area parkir telah disediakan sebuah tempat melepas lelah dengan pemandangan yang dapat menyejukkan mata.
Di warung itu, saya disuguhkan dua pilihan antara area indoor dan outdoor. Area indoor lebih terkesan aman dari sinar matahari karena dinaungi oleh sebuah atap, sedangkan area outdoor tidak dinaungi atap, tetapi juga tidak secara langsung terpapar sinar matahari karena dinaungi oleh sebuah pohon yang cukup lumayan besar. Area outdoor di bawah pohon menjadi posisi favorit saya, sebab rasa lelah dan sedikit keringat di tubuh akan terbayar lunas dengan sepoi angin yang menenangkan, segelas es yang menyegarkan, dan selayang pandang ladang-ladang hijau di area bawah warung yang menakjubkan.
Akhir kata, meskipun wisata itu memang menyenangkan, namun tidak berarti wisata tak akan melelahkan. Mungkin istilah yang tepat adalah wisata itu rasa lelah yang disenangi.
Akhmad Idris
Dosen STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya