Administrasi yang baik merupakan salah satu fondasi utama dalam menjaga kualitas dan integritas sebuah institusi pendidikan. Namun, tidak jarang kita menyaksikan berbagai kasus maladministrasi yang menghantui banyak kampus di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya membuat ketidaknyamanan bagi mahasiswa dan staf, tetapi juga dapat merusak reputasi universitas.
Universitas Hasanuddin (Unhas) sebagai salah satu kampus papan atas di Indonesia tidak luput dari masalah ini. Mulai dari lambannya birokrasi kampus, miskomunikasi antar lembaga, kurangnya transparansi dan banyak masalah-masalah lainnya masih kerap terjadi.
Salah satu contoh nyata dari masalah ini adalah keterlambatan pengiriman surat keputusan drop out (DO) kepada beberapa mahasiswa Unhas. Bundel identitas Mei 2004 mencatatkan, sejumlah mahasiswa dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) harus menerima kenyataan pahit setelah menerima surat keputusan DO yang terlambat.
Kejadian itu menimpa Junaedi Sultan, seorang mahasiswa jurusan Perikanan angkatan 2001. Junaedi baru saja menerima surat drop out di semester 6 padahal sejatinya surat DO itu seharusnya dia terima ketika evaluasi semester 4.
Junaedi pun tidak tinggal diam, ia bersikeras bahwa nilainya yang bermasalah telah diralat oleh bagian akademik FIKP sehingga kreditnya telah mencukupi 48 SKS. Sayangnya, pihak rektorat mengaku bahwa mereka tidak pernah mendapat surat ralat itu hingga batas akhir pemasukan nilai pada 21 Oktober 2003.
Lalu mengapa Junaidi baru mendapatkan SK DO-nya di semester 6? Pembantu Dekan yang menangani masalah akademik saat itu berkilah bahwa hal tersebut adalah kesalahan manusiawi. Jumlah mahasiswa yang banyak membuat pegawai akademik lupa memberikan surat tersebut.
Nasib serupa juga dialami oleh Viktor Sambi, Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan angkatan 2000. Ia baru menerima SK DO-nya di semester delapan. Berbeda dengan Junaedi, Viktor lebih berlapang dada menerima keputusan tersebut dan mengakui memang banyak terjadi kesalahan prosedur administrasi.
Dampak dari masalah administrasi ini juga dirasakan di fakultas lain seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Peternakan (Faperta). Mahasiswa seperti Iwan dari FISIP dan Surachman dari Faperta terpaksa harus berurusan dengan kasus serupa, dimana mereka terlambat menerima surat DO.
Untuk menyelesaikan masalah ini, FISIP dan Faperta menawarkan agar para mahasiswa yang bermasalah berpindah ke program ekstensi. Solusi tersebut diterima oleh Iwan, namun Surachman menolaknya mentah-mentah. Ia menganggap bahwa imbauan untuk pindah ke program ekstensi sebagai upaya cuci tangan fakultas agar masalah ini cepat diakhiri.
Kelalaian ini kembali terjadi di Unhas pada Mei 2012. Sejumlah mahasiswa terkejut saat menerima surat keputusan DO setahun setelah surat tersebut seharusnya dikeluarkan.
Ias, seorang mahasiswa FISIP angkatan 2008 sedang mencari berkas di antara tumpukan arsip di ruang Sosial dan Ilmu Politik. Tak disangka, di tengah tumpukan kertas itu ia menemukan sebuah SK yang menyatakan dirinya DO sebagai mahasiswa Unhas.
“Saya menemukan SK (DO) ini empat hari yang lalu. Saat itu, secara tidak sengaja saya hendak melihat tumpukan arsip-arsip, ternyata salah satunya ada SK DO yang mencantumkan nama dan NIM saya,” ujarnya.
Perkuliahan selama dua semester pun telah Ias jalani dan membayar SPP selama periode DO tersebut.
Waldi Zainal, seorang mahasiswa FIKP angkatan 2008 mengalami cerita serupa. Ketika hendak membayar uang kuliah semester berikutnya, namanya tidak tercantum lagi sebagai mahasiswa Unhas. Kasusnya mirip dengan Ias, Waldi ternyata telah mengikuti perkuliahan selama dua semester setelah SK DO dikeluarkan.
Jika saja proses administrasinya tepat, ia seharusnya sudah tidak bisa membayar SPP sejak Februari 2011. Sesuai dengan SK DO tertanggal 17 Februari 2011.
“Mahasiswa tersebut telah DO tetapi tetap dibiarkan melakukan pembayaran SPP. Itu kan sistem administrasi yang amburadul. Harusnya mahasiswa yang telah DO tidak bisa membayar SPP,” ungkap Prof Dr Armin Arsyad MSi, Wakil Dekan I FISIP kala itu.
Keheranan juga disampaikan oleh Prof Dr Ir Najamuddin MSc dari FIKP mengenai fakta bahwa mahasiswa yang sudah DO masih bisa membayar dan mengikuti perkuliahan.
Prof Dr Eng Dadang Achmad Suriamihadrja, Wakil Rektor I pada saat itu, menjelaskan terkait keterlambatan penerbitan SK DO tersebut.
“Seharusnya SK tersebut sudah diterbitkan pada bulan September dan Januari, namun karena keterlambatan pemasukan nilai dari Fakultas, SK tersebut tertunda.” pungkasnya.
Adi Wardoyo, staf bagian Kabiro Akademik Unhas, menerangkan bahwa SK DO yang diterbitkan oleh rektorat langsung diserahkan kepada masing-masing fakultas.
Dari rentetan kisah kelam dari mahasiswa tersebut, kita melihat betapa krusialnya menjaga kualitas administrasi di lingkungan kampus.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, mari kita memulai dari administrasi yang baik dan efisien sebagai sesuatu yang fundamental. Oleh karena itu, Unhas perlu melakukan pembenahan pada sistem administrasi agar ‘dosa’ serupa tidak terulang lagi.
A Mario Farrasda AS