Erosi menjadi momok di sepanjang garis pantai di Indonesia. Lantas adakah cara penanggulanganya?
Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan. Dilansir dari perumperindo.secara geografis dua pertiga wilayah Indonesia merupakan lautan, lebih besar daripada daratan. Hal tersebut membuat Indonesia memiliki potensi kelautan, perikanan, serta pariwisata yang besar. Namun kawasan perairan yang luas tersebut, juga mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi, seperti erosi pantai.
Tulisan Mohd. Nasir, Sutarman Karim, Triyatno, dan Febriand dalam Jurnal Geografi Universitas Padang menjelaskan, erosi merupakan proses pengikisan air laut yang menyebabkan perubahan pada lingkungan pantai baik secara fisik maupun non fisik. Dari perubahan tersebut, dapat menyebabkan kerugian seperti hilangnya lahan pesisir, pulau, rusaknya habitat mahluk hidup di pesisir dan pantai, merugikan kegiatan budidaya perikanan, pariwisata, pertambangan, pemukiman, perhubungan dan tempat-tempat peruntukan industri lainya.
Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Dr Mahatma Lanuru ST M Sc dalam penelitiannya menemukan, pantai yang rusak akibat erosi di Indonesia diperkirakan mencapai 40 persen. Jika tidak segera dilakukan penanggulangan maka Indonesia akan kehilangan pesisir pantai sekian ribu kilometer. Oleh karena itu, melalui penelitiannya pula Mahatma memperkenalkan pendekatan Hybrid untuk mengatasi bencana erosi pantai.
“Yang kami sebut sebagai Pendekatan Hybrid ialah penggabungan antara struktur keras dan struktur lunak,” ucap Mahatma, Jumat (4/9).
Alumni S3 Universitas Kiel, Jerman ini menjelaskan, perlindungan pantai dengan struktur keras seperti pemecah ombak (wave breakers) yang selama ini diterapkan memerlukan biaya pembuatan dan pemeliharaan yang relatif mahal, selain struktur keras dianggap kurang efektif juga tidak ramah lingkungan. Karena bisa merubah pola arus dan transpor sedimen di pantai, yang justru bisa membuat erosi pantai semakin kuat.
Sementara itu, penerapan struktur lunak atau struktur biologi dilakukan dengan merehabilitasi terumbu karang dan penanaman kembali hutan mangrove. Namun menurut Mahatma, pendekatan sistem ini masih memiliki kelemahan. Misalnya, anakan mangrove yang baru ditanam bisa tersapu oleh arus atau tercabut gelombang yang kuat, jika didepannya tidak dilindunsgi oleh struktur keras. Sehingga hanya efektif pada kondisi lingkungan perairan gelombang atau arus yang tidak begitu kuat.
Dengan sistem ini, Mahatma pun menyarankan untuk merapkan kedua sistem itu secara bersamaan atau disebut pendekatan hybrid. Stabilisasi pantai dengan cara hybrid cocok untuk kondisi pulau-pulau kecil, dimana kondisi energi perairannya sedang sampai ke tinggi. Pendekatan ini biasanya dilakukan pada lingkungan pantai, sungai, dan estuaria yang energinya sedang sampai kuat.
Untuk pemulihan habitat bisa dengan beberapa pilihan struktur keras. Salah satu contohnya adalah penggunaan hybrid engineering untuk mengatasi erosi pantai di Desa Timbulsloko, Kab. Demak, Jawa Tengah dan pesisir pantai utara Kabupaten Sikka Prov. Nusa Tenggara Timur. Konsep tersebut menggabungkan ilmu teknik sipil (engineering) dengan proses alam dan sumber daya seperti mangrove, menghasilkan solusi dinamis yang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan keadaan untuk menghentikan proses erosi dan mengembalikan garis pantai yang stabil.
Penerapan hybrid sebenarnya sudah diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan Belanda. Di Indonesia sendiri masih jarang, lebih dominan menerapkan pendekatan sistem keras, kata Mahatma. Sehingga pendekatan hybrid ini masih butuh waktu untuk sosialisasi.
Annur Nadia F. Denanda