“Saya ingin jadi dokter, lalu pulang mengabdi dan membantu masyarakat Gaza.”
Hanadi Yusuf Shaheen bukanlah nama yang asing di antara jajaran lulusan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Hasanuddin (Unhas) periode April 2025. Mahasiswa internasional asal Gaza, Palestina itu tak hanya berhasil menyandang gelar dokter, tetapi juga dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Program Profesi Dokter Unhas.
Perjalanan Hanadi menuju toga dipenuhi kenangan pahit. Lahir dan besar di tengah kepungan konflik yang tak kunjung usai, ia mengenal kata “takut” lebih awal dari banyak anak seusianya.
Ketika anak-anak lain belajar dengan tenang, Hanadi kecil harus menyelamatkan diri saat ujian karena serangan udara dari zionis Israel. Kejadian itu sangat membekas di hati, bahkan saat usianya sudah menginjak 25 tahun.
“Saya masih ingat waktu kelas tiga SD. Baru mau mulai ujian, tiba-tiba di seluruh kota terdengar suara bom. Panik semua, lari dari sekolah. Itu tidak akan pernah saya lupakan,” kenangnya, Rabu (23/04).
Di balik ketegangan masa kecilnya, tumbuh tekad besar dari diri Hanadi menjadi seorang dokter. Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk mendaftar kuliah di luar negeri. Selain itu, ia adalah tipe orang yang menyukai tantangan dan ingin mencoba suasana baru.
Hanadi menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu jalan keluar untuk meraih cita-citanya. Ia ingin keluar dari zona perang, lalu kembali sebagai seseorang yang bisa membantu negerinya.
Dari sekian banyak pilihan negara, Hanadi akhirnya menjatuhkan pilihan pada Indonesia, negara yang namanya akrab di telinga rakyat Palestina. “Sejak kecil saya sering dengar nama Indonesia. Orang-orang di sana selalu bilang Indonesia itu sahabat Palestina,” ujarnya.
Lewat pencarian mandiri di internet, Hanadi mendaftar beasiswa dari Unhas yang membuka program untuk mahasiswa internasional. Setelah resmi diterima pada 2018, ia berangkat ke Indonesia seorang diri tanpa mengenal siapapun.
Ketika tiba di Makassar, Hanadi dihadapkan pada budaya, makanan, dan bahasa yang serba asing. Namun menurutnya, tantangan terbesarnya saat itu adalah bahasa yang sangat berbeda.
“Pernah di awal-awal kuliah, saya duduk di belakang kelas dan menangis. Rasanya sangat sendiri,” ungkapnya lirih.
Untungnya, beberapa dosen dan teman sekelas perlahan menariknya keluar dari situasi tersebut. Salah satu momen yang Hanadi ingat adalah saat seorang profesor membantunya beradaptasi, dengan memanggilnya ke depan kelas karena melihatnya selalu duduk di belakang.
Tak hanya soal adaptasi, Hanadi juga harus menghadapi tantangan akademik. Belajar kedokteran dalam bahasa yang belum ia kuasai sepenuhnya adalah perjuangan tersendiri.
Saat ditanya motivasi terbesarnya untuk melanjutkan studi kedokteran, ia teringat sebuah pesan dari ibunya.
“Sebelum berangkat Mama bilang, saya diberangkatkan ke Indonesia karena mau jadi dokter, mau pulang membantu masyarakatnya, temannya, dan keluarganya di Gaza,” ujarnya.
Maka dari itu, ia berusaha membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia bisa meraih mimpinya seorang dokter. Namun ia tak menyangka, mengenyam pendidikan selama enam tahun di Indonesia ternyata membuatnya berhasil menorehkan prestasi.
Di hari wisuda, Hanadi hanya diberi tahu untuk duduk di bagian depan oleh panitia. Dirinya tak tahu bahwa namanya akan disebut sebagai lulusan terbaik Program Profesi Dokter Unhas.
“Ketika dengar nama sendiri dipanggil, saya kaget tapi sangat bangga dan senang,” katanya sambil tersenyum.
Hanadi berhasil lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,89 predikat cum laude. Pada hari yudisiumnya, ia juga sempat menyampaikan pidatonya di podium di hadapan jajaran pimpinan dan lulusan FK lainnya.
Selanjutnya, ia berencana melanjutkan pendidikan spesialisnya di bidang Kardiologi sebelum kembali ke Palestina.
Bagi Hanadi, kunci dari segalanya ada pada satu kata, yaitu proses. Ia mengatakan, kalau tidak pernah merasa susah, nanti kita tidak tahu rasanya senang.
Hanadi turut berpesan kepada mahasiswa, khususnya perantau internasional di luar sana agar tetap bersabar dalam menjalani studi dan menikmati setiap prosesnya. Ia percaya bahwa ilmu adalah bagian dari ibadah. Maka, selama semangat dan niat itu ada, mimpi besar pun bisa dijangkau.
“Pesan saya kepada mereka ialah bersabar dan ikuti perjalanan dan proses pembelajaran semestinya karena setiap langkah di hidup kita pasti mulainya dari berjuang,” pungkasnya.
Marcha Nurul Fadila Jalil
