Bekerja sebagai penjual makanan berat sejak 1996 di Unhas, ia punya kenangan tersendiri bareng mahasiswa dan kampus Unhas.
Sekitar pukul 15:00 Wita, kami menyambangi Mace di kediamannya sekaligus tempat ia menjual makanan di teras rumahnya. Saat itu, perempuan yang lebih akrab disapa Mace ini telah menutup warungnya.
Warung yang menyajikan makanan ala rumahan seperti tempe tahu menjadi menu paling laku. Katanya, mahasiswa banyak rindu dengan masakan rumahan. Warungnya dibuka mulai pukul 07.00 Wita hingga menu jualannya habis. “Kalau siang sudah habis ya kita tutup, biasanya sekitar jam satu atau sore hari,” ucap Mace.
Lokasi dimana Mace menjual makanan rumahan di Jln. Sahabat 3, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Lokasi itu tidak terlalu jauh dari Unhas. Maka tidak heran jika menjadi pilihan mahasiswa untuk sarapan atau makan siang.
Walau sudah 13 tahun berpindah tempat menjual, tak menjadikan warungnya sepi. Mace tetap menjadi pilihan mahasiswa ketika ingin mengisi perut. Selain harga makanan terjangkau, warung Mace juga punya cerita tersendiri dengan mahasiswa Unhas.
Awal perkenalan Mace dengan mahasiswa, saat ia mulai menjual nasi bungkus di Fakultas Teknik Unhas, kampus Tamalanrea. Seiring ia menjual, mahasiswa pun memakai jasanya dibuatkan nasi bungkus demi keperluan penggalangan dana.
“Dari situ mi mahasiswa bilang bagaimana kalau Mace mi yang masakan. Terus lama-kelamaan mahasiswa panggil teman-temannya,” ucapnya. Sejak saat itu nasi bungkus yang dijualnya mulai banyak diketahui mahasiswa. Alhasil keputusan untuk membuka warung pun muncul, di depan Masjid Ramsis.
Di Ramsis, perempuan umur 53 tahun ini mulai sering dipanggil Mace. Sementara mahasiswa asal Malaysia yang tinggal di Ramsis sering memanggilnya dengan sebutan ma’ci. Sebutan lain pun muncul dari mahasiswa asal Kalimantan, dengan panggilan Mace.
Nani, itulah nama sebenarnya. Perempuan asal Enrekang ini mulai sering dipanggil Mace sejak di Ramsis. Bila ada yang memanggilnya diluar panggilan Mace, maka dipastikan orang itu baru datang untuk makan di warung miliknya.
Bukan hanya Nani, suaminya yang bernama Hamidin sering pula dipanggil Pace. Mace dan Pace yang hidup berdampingan dengan mahasiswa, dalam artian kedekatan mereka sangat akrab. Apalagi berprofesi sebagai pengelola Ramsis pada 2000-an. Kedekatan dengan mahasiswa terbangun sejak dirinya cukup sering bermain catur dan bermain bola bersama. Bahkan sampai mengadakan perlombaan untuk setiap penghuni kamar Ramsis.
Mahasiswa juga kerap kali membantu Pace Hamidin dan Mace saat membersihkan pelataran Ramsis. Hal itulah yang membuat mereka akrab, selain karena seringnya mahasiswa menyambangi warungnya, juga karena rasa peduli yang saling dimiliki.
Pace Hamidin dan Mace kembali mengingat masa-masa mereka bersama mahasiswa di Ramsis dulu. Setiap malam Pace Hamidin akan begadang untuk bermain catur bersama mahasiswa penghuni Ramsis lainnya. Bahkan ketika ada mahasiswa yang sakit, Mace dengan senang hati akan merawat mereka sama seperti anaknya sendiri. Mace membuatkan bubur.
“Mereka tidak anggap kami sebagai penjual tapi orangtua. Semua anak-anak itu baik, kalau yang sakit di Ramsis, kita dulu yang rawat. Mahasiswa panggil kami Mace dan Pace jadi kayak anak sendiri mi,” ungkap Mace.
Wanita kelahiran 1968 ini menambahkan cerita kedekatannya dengan mahasiswa, membuat mahasiswa sering curhat tentang apa saja dengan Mace. Ada banyak hal yang mereka jadikan sebagai bahan perbincangan bahkan candaan. Hingga Mace pindah tempat ke Jln. Sahabat kerap kali mahasiswa bertandang untuk makan dan bercerita dengan Mace.
“Pokoknya kita dengan mahasiswa itu banyak diobrolkan, sering juga bercanda sama-sama. Bahkan sampai sekarang saya juga masih sering cerita-cerita dengan mahasiswa kalau ada datang seringnya menanyakan kabar,” katanya.
Sewaktu Pace Hamidin dan Mace masih bermukim di Ramsis, mahasiswa pada tahun itu sering membuat perlombaan, salah satunya berupa pertandingan sepak bola antar blok. Ada juga lomba kebersihan antar blok yang diadakan setiap tahun oleh penghuni Ramsis. Melalui hal itu menumbuhkan jiwa kepedulian dan kekompakan mereka.
“Dulu itu kepeduliannya mahasiswa lebih hebat. Kepedulian mereka dengan asrama itu luar biasa. Mereka bikin taman-taman sendiri, menyapu sendiri karena pada waktu itu belum ada cleaning service,” ucap Hamidin.
Bahkan Hamidin kembali mengungkap pada masa itu Ramsis memiliki ketua RT pada masing-masing blok yang diketuai oleh mahasiswa sendiri. Mahasiswa tersebut akan mengecek kebersihan dan kerapian asrama, seperti menegur mahasiswa yang menjemur pakaian mereka di railing balkon.
“Itu kan di teras lantai dua dan tiga ada pagar teras yang terbuat dari besi, mahasiswa dilarang menjemur di situ karena kumuh kelihatan. Makanya biasa ketua Rumah Tangga yang datang menegur kalau ada dia dapat pakaian yang terjemur,” ungkap Hamidin.
Begitulah pengalaman-pengalaman Mace dan Hamidin alami ketika tinggal di Ramsis. Kemudian tahun 2008 silam warung Mace pun berpindah tempat dari Ramsis ke Jalan Sahabat. Di Jalan Sahabat dengan mudah ditemukan dari spanduk bertuliskan warung Mace terpasang rapi di depan tembok pagar rumahnya.
Kala di Ramsis warungnya tidak memiliki nama, maka setelah pindah nama Mace baru ditorehkan agar orang tahu bahwa Mace Ramsis telah pindah ke Jalan Sahabat.
Ketika diwawancara perihal pernah tidaknya mahasiswa berhutang dan tidak membayar, ia hanya mengatakan masalah bayar membayar tergantung, yang penting kita baik dan ikhlas. “Kadang-kadang kalau ada mahasiswa yang sudah berhasil ia bayar makanannya lalu tidak ambil kembaliannya,” tutupnya.
Friskila Ningrum Yusuf