Pada 2009, Universitas Hasanuddin (Unhas) mengambil langkah berani dalam membangun jembatan menuju dunia internasional. Demi mewujudkan itu, Unhas membentuk unit khusus dalam kampus yang berperan meningkatkan kualitas kerja sama internasional guna mendukung reputasi universitas di tingkat global. Lembaga ini bernama International Office atau Kantor Urusan Internasional.
Kala itu, Dr Hj. Etty Bazergan PhD atau akrab disapa Mam Etty dipilih langsung oleh pimpinan universitas untuk mengemban tugas mulia ini. Berbekal pengalamannya sebagai dosen Sastra Inggris dan mantan Direktur Pusat Bahasa yang memiliki jaringan internasional yang luas, Etty diharapkan mampu membawa kontribusi besar dan memimpin cikal bakal berdirinya KUI.
Sebagai ketua pertama, Etty memulai masa jabatannya dengan melakukan pembenahan besar-besaran terhadap administrasi dan sistem persuratan di kantor KUI. Tata kelola surat-menyurat yang sebelumnya kurang teratur dirombak secara menyeluruh.
Etty dengan teliti mengumpulkan dokumen-dokumen kerja sama yang tersebar di berbagai unit dan menyusunnya dalam file yang terorganisir dengan baik. Langkah ini tidak hanya memperlancar alur kerja di KUI, tetapi juga memastikan bahwa setiap kerja sama internasional dapat diakses dan dikelola dengan efisien.
Di bawah kepemimpinan Etty, KUI aktif membangun dan memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak internasional. Etty berperan sentral dalam berbagai program yang melibatkan universitas luar negeri. Dirinya pun senantiasa memberikan bimbingan dan keahlian yang dibutuhkan untuk memastikan kesuksesan di setiap kesepakatan.
Tidak tanggung-tanggung, Etty ikut terjun langsung dalam setiap kerja sama. Ia dengan teliti memeriksa, mereview, dan menentukan kelayakan setiap dokumen yang masuk. Kepercayaan yang diberikan kepadanya menjadikannya sebagai garda terdepan dalam mengelola dan memproses setiap perjanjian internasional.
Dengan tanggap, Etty juga aktif bekerja sama dengan Wakil Rektor IV. Dengan pengalaman yang mumpuni, Etty memainkan peran kunci dalam berkomunikasi dan mendukung pimpinan Unhas, khususnya Wakil Rektor IV yang menangani bidang kerja sama internasional waktu itu.
Selama mengisi jabatan di KUI, Etty bersama rekannya juga sempat merancang program student mobility bernama International Cultural Program. Program ini memungkinkan pihak KUI mengundang mahasiswa dari luar negeri untuk berkunjung ke Unhas. Meski begitu, program ini tidak sempat terlaksana oleh Etty dan baru terealisasi di masa jabatan Karmila Mokoginta SS MHum ASrts, Sekretaris Etty.
Di mata Karmila sendiri, Etty bukan hanya sosok yang disiplin dan pekerja keras, tetapi juga visioner. Karmila menggambarkan Etty sebagai seseorang yang punya perencanaan jauh ke depan, tidak hanya untuk beberapa tahun ke depan, tetapi juga untuk satu dekade mendatang.
“Mam Etty selalu memiliki pandangan yang luas dan jauh ke depan, merencanakan dengan cermat untuk masa depan universitas. Beliau mampu melihat potensi dan peluang yang mungkin terlewatkan oleh orang lain,” kata Karmila, Selasa (20/08).
Di samping itu, Karmila pun mengagumi kepemimpinan Etty yang inspiratif. Menurutnya, Etty lebih dari seorang pemimpin. Ia juga sosok mentor yang mampu memotivasi orang lain dengan kata-kata bijak dan tindakan yang tulus, serta memberdayakan para karyawan untuk berpikir besar dan bertindak berani.
“Beliau menciptakan lingkungan kerja yang penuh semangat, di mana setiap orang merasa termotivasi untuk memberikan yang terbaik,” ungkap Karmila.
Sayangnya, pada 25 November 2014, KUI harus kehilangan sosok Etty. Sehari sebelum meninggal, Etty bahkan masih sibuk mempersiapkan kedatangan seorang pejabat tinggi dari Afrika Selatan untuk melaksanakan kegiatan penting di Unhas. Kepemimpinan dan dedikasinya pun tetap menjadi sorotan hingga saat-saat terakhir, menunjukkan besarnya dedikasi Etty menjembatani universitas dengan komunitas internasional.
Karmila mengenang momen emosional satu bulan sebelum kepergian beliau. Saat itu, Etty sedang memberikan arahan dalam sebuah rapat. Etty tidak hanya memberikan arahan dan nasihat-nasihat penting, tetapi juga mengungkapkan bahwa ia akan segera berhenti mengajar. Ungkapan dan nasihat tersebut seolah-olah menjadi pesan perpisahan yang membuat Karmila dan seluruh ruangan ikut bersedih.
Kepergian Etty menyisakan duka mendalam di hati setiap orang yang pernah bekerja bersamanya. Setiap langkah yang diambil, keputusan yang dibuat, dan motivasi yang diberikan Etty akan terus hidup dan melekat abadi dalam ingatan rekan sejawatnya.
Hingga akhirnya, warisan yang ditinggalkan Etty, baik dalam bentuk pencapaian maupun pengaruh mendalam terhadap KUI telah menjadi bagian dalam sejarah penting perjalanan Universitas Hasanuddin menuju kancah internasional.
Athaya Najibah Alatas