Di tengah tuntutan untuk mewujudkan kesetaraan dalam pembentukan masyarakat yang inklusif, kontribusi perempuan terbilang cukup signifikan. Namun, perempuan masih sering menghadapi serangkaian tantangan dan tuntutan tersendiri dalam mencapai kesejahteraannya. Mulai dari kesenjangan upah, keterbatasan akses, serta norma sosial yang seringkali mendiskriminasi dan masih menjadi hambatan yang signifikan bagi perempuan di banyak belahan dunia.
Perempuan sendiri memiliki karakteristik yang unik, baik dari segi fisik, psikis, maupun secara biologis. Salah satu ciri khas perempuan adalah siklus reproduksi yang terjadi secara bulanan, yang dikenal sebagai menstruasi atau haid. Menstruasi merupakan sebuah proses alami yang terjadi pada rahim perempuan setiap bulan dan merupakan indikator kesehatan yang normal bagi perempuan.
Dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), perempuan sebagai tenaga kerja berhak atas tiga bentuk perlindungan, yaitu ekonomi, sosial, dan teknis yang diatur Pasal 11 ayat (1) huruf f, yaitu:
(1) Negara-negara Peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita di lapangan kerja guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya: …
“Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.”
Salah satu hal yang dapat mengakomodasi persoalan tersebut adalah melalui pemberian cuti haid. Kebijakan ini tidak hanya memberikan dukungan langsung kepada perempuan yang sedang mengalami haid/menstruasi, tetapi juga membantu mendobrak stigma tentang tubuh perempuan dalam lingkungan kerja dan masyarakat secara luas.
Regulasi terkait hak cuti haid di Indonesia telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada atasan, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”.
Instrumen ini sudah seharusnya menjadi landasan yang kuat atas pemberian perlindungan kepada perempuan selama periode menstruasi. Banyak perempuan yang merasa enggan untuk mengambil cuti haid karena takut dianggap tidak profesional atau terkesan tidak kompeten. Terdapat juga kekhawatiran akan konsekuensi ekonomi yang mungkin timbul akibat absen dari pekerjaan. Selain itu, masih banyak industri dan perusahaan yang memang belum sepenuhnya mengadopsi secara internal kebijakan tersebut.
Ini berarti bahwa jika seorang buruh meminta cuti haid sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, namun perusahaan tempat mereka bekerja menolak memberikannya, perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Selama menstruasi, banyak perempuan mengalami berbagai gejala yang dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental mereka. Ironisnya, ketika perempuan dihadapkan pada kondisi kesehatan yang buruk akibat menstruasi, produktivitas kerja mereka juga dapat terpengaruh. Rasa sakit, kelelahan, dan ketidaknyamanan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dan bekerja secara efektif.
Dengan memberikan akses kepada perempuan untuk mengambil cuti saat mereka mengalami menstruasi, kebijakan ini dapat membantu mengurangi tekanan yang mereka rasakan dan perempuan dapat memprioritaskan kesehatan mereka tanpa harus merasa terbebani oleh tuntutan pekerjaan.
Kebijakan cuti haid juga memiliki implikasi yang kuat dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam banyak kasus, perempuan masih dihadapkan pada stigma dan diskriminasi terkait menstruasi di tempat kerja. Mereka mungkin merasa tidak nyaman atau bahkan malu untuk mengungkapkan kondisi mereka kepada atasan atau rekan kerja.
Hadirnya kebijakan cuti haid yang resmi, masyarakat dan perusahaan dapat secara terbuka mengakui kebutuhan kesehatan khusus perempuan dan memberikan perlindungan yang setara dalam hal cuti dan hak-hak lainnya yang mendukung terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu.
Penerapan kebijakan cuti haid yang memberi kebebasan bagi perempuan untuk mengambil waktu istirahat di awal menstruasi ini sejalan dengan gagasan tentang kebebasan individu dalam penciptaan masyarakat yang setara. Namun, menurut Nancy Frase dalam “Citizen Rights: Feminism, Capitalism, and the Cunning of History”, ia berpendapat bahwa kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan perempuan, seperti cuti haid, belum sepenuhnya mengatasi ketidaksetaraan gender.
Meskipun kebijakan cuti haid dapat membantu memperbaiki kondisi perempuan di tempat kerja. Namun kesetaraan yang diharapkan hanya akan tercapai jika struktur mendasar yang menyebabkan ketidaksetaraan yang mungkin dipicu oleh sistem kapitalisme patriarkal harus diubah.
Nur Muthmainah
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2021
Sekaligus Sekretaris PK identitas Unhas 2024