Dengan mudahnya informasi tersebar, seperti isu publik figur yang bermunculan di sosial media membuat adanya sentimen negatif terhadap orang yang terlibat dalam skandal tersebut.
Ini rupanya tidak jarang kita temukan dalam dunia maya. Ketika seseorang terlihat salah di mata orang lain, orang tersebut akan mendapatkan tindak kekerasan digital yang dikenal dengan istilah cyberbullying.
Menurut Unicef, cyberbullying atau perundungan dunia maya adalah perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Dalam hal ini, media sosial menjadi platform untuk melakukan tindakan negatif, seperti komentar kasar, ancaman, pelecehan, penghinaan, dan hoaks.
Sebagai platform yang membahas mengenai isu mental, Kenal Mental mempelajari lebih dalam siapa yang lebih sering mengalami serangan perundungan siber? Siapa bertanggung jawab atas kasus perundungan tersebut?Bagaimana citra ‘kesopanan’ Indonesia di mata dunia sebagai dasar korelasi antara perilaku netizen di media sosial dan kasus cyberbullying?
Berdasarkan subjek mengenai cyberbullying, kami memperoleh data dari tiga platform ternama, yaitu, Microsoft, Unicef dan U-Report Indonesia. Penjelasan masing-masing data dari ketiga platform tersebut adalah sebagai berikut.
Menurut Riset Microsoft
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu Mei hingga April 2020, dengan tolak ukur “Digital Civility Index” atau “Indeks Keberadaban Digital” yang menunjukkan tingkat keberadaban netizen dalam dunia digital.
Hasilnya netizen Indonesia masuk ke dalam urutan ke-29 atau ketiga terendah sebagai ‘netizen tidak sopan’. Riset ini dilakukan pada 32 negara dengan jumlah total 16.000 responden dengan 503 netizen Indonesia. Faktor yang mempengaruhi penilaian ini adalah tindakan yang dilakukan ketika berselancar di dunia maya dan media sosial.
Untuk kasus di Indonesia, ketiga tindakan cyberbullying yang paling sering dilakukan adalah penyebaran hoaks dan penipuan sebanyak 47 persen, ujaran kebencian 27 persen, dan diskriminasi 13 persen. Tindakan ini dilakukan oleh 48 persen orang asing dan 24 persen terjadi dalam satu minggu.
Berdasarkan kualifikasi usia, milenial (1980-1995) menjadi kelompok yang paling sering menjadi sasaran perundungan di media sosial, angkanya mencapai 54 persen. Disusul oleh generasi Z (1997-2000) 47 persen, generasi X (1965-1980) 39 persen, dan baby boomers (1946-1964) 18 persen.
Selain itu, menurut laporan Polda Metro Jaya, terdapat setidaknya 25 kasus yang dilaporkan setiap harinya. Angka ini terus meningkat, lantaran meningkatnya jumlah pengguna internet dan penanganan kasus cyberbullying yang masih belum efektif.
Hasil Survei yang Dilakukan U-Report Indonesia
Survei ini melibatkan 2.777 responden Indonesia dengan 97 persen rating tanggapan. Hasilnya adalah 45 persen orang mengaku pernah mengalami kekerasan digital.
Kekerasan kerap terjadi di jejaring sosial sebanyak 71 persen, aplikasi chatting 19 persen, game online 5 persen, YouTube 1 persen, dan lainnya 4 persen. Dari total 97 perseb ini, 34 persen responden tidak mendapat layanan atau bantuan saat menjadi korban, serta 36 persen tak tahu informasi mengenai pusat bantuan mengenai perundungan siber.
Data lain mengungkapkan 39 persen netizen merasa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus-kasus cyberbullying. Diikuti 11 persen sekolah, 14 persen penyedia layanan internet, dan 36 persen anak muda.
Menurut Unicef dampak yang ditimbulkan dari pengalaman negatif ini adalah:
Secara mental
Adanya perasaan malu, bodoh, bahkan marah, baik ke diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya itu, ada juga yang bisa menarik diri dari lingkungan, tiba-tiba jarang terlihat dan lebih suka menyendiri. Bahkan bisa sampai ke percobaan bunuh diri.
Secara emosional
Hilangnya minat terhadap suatu hal. Mungkin ada beberapa di antara temanmu yang pernah menjadi korban bullying. Awalnya aktif, ceria, tapi lama kelamaan malah menjadi murung dan sensitif.
Secara fisik
Bermula dari overthinking terhadap masalah yang dihadapi. Kemudian menjalar ke tidur terus-menerus, malas makan, bahkan stres dan depresi. Tanpa sadar, hal ini bisa menyebabkan sakit. Bisa saja kamu merasakan sakit kepala, sakit perut, dan lain sebagainya.
Maka itu, Indonesia menempati ranking ke-29 dalam hal ketidaksopanan di dunia maya. Dengan tolak ukur “semakin rendah rankingnya, semakin tinggi tingkat ketidaksopanannya”
Berdasarkan kualifikasi usia, milenial dan generasi Z merupakan usia yang paling sering mengalami tindak cyberbullying. Usia kedua kelompok ini dimulai dari usia 41- 21 tahun, golongan ini termasuk dalam kategori dewasa – anak muda.
Anak muda menjadi subjek utama dalam penyebaran kasus cyberbullying. Dilihat dari tingginya persentase jumlah anak muda yang mengalami kekerasan ini. Beberapa kasus yang terjadi juga menunjukkan korban bisa sekaligus menjadi pelaku.
Tindak cyberbullying dilakukan oleh 48 persen orang asing dan 24 persen terjadi dalam satu minggu. Artinya, 52 persen dilakukan oleh orang yang kita kenal, seperti rekan kerja, teman, pasangan, dan keluarga. Selain itu, laju perkembangan kasus ini juga cepat meningkat hanya dalam waktu satu minggu saja.
Dari hasil riset U-Report Indonesia, 71 persen kekerasan digital terjadi di media sosial, pengguna internet semakin banyak, namun penanganan kasus kriminal dan sosialisasi mengenai kasus dunia maya ini masih kurang efektif, serta rendahnya kesadaran akan bahaya cyberbullying.
Pemerintah dan anak muda adalah dua subjek yang paling berpengaruh untuk menurunkan tingkat kriminalitas dalam dunia digital.
Sudah saatnya kita menyadari racun dari tindakan perundungan siber ini. Perlu kita mengingat, jejak digital akan susah dihapus dan akan terlihat oleh anak dan cucu. Juga, kalau kamu menjadi korban, jangan takut untuk angkat bicara dan melapor.