“Sebuah revolusi jurnalistik yang menghasilkan kerajaan media di Indonesia. Sebuah kerja rodi yang menghasilkan kemakmuran bagi generasi sesudahnya.”
Kisah para eks wartawan Jawa Pos (JP) semasa bertugas dulu (1982 – 1989) tergambarkan dalam buku yang terbit Januari 2018 lalu ini. Dalam kurun waktu tersebutlah masa kebangkitan JP dari koran yang tidak laku menjadi laris.
Berbagai kisah hidup pejuang JP kemudian menginspirasi Slamet Oerip Prihadi mengulas kembali kisah semasa di JP. Yang selanjutnya mereka tuangkan dalam tulisan.
Asam garam yang dirasakan para wartawan JP kala itu memiliki polemik yang berbeda. Terkhusus ketika Dahlan Iskan mengambil alih Jawa Pos, seketika itu pula kehidupan leha-leha pun ditinggalkan.
Gaya penulisan yang terdapat dalam buku ini tidak seragam. Setiap penulis memiliki gaya berbeda dalam menggambarkan kisahnya. Keseluruhan terdapat 13 penulis termasuk sang editor, Djono W. Oesman. Selain itu, dilengkapi pula dengan pengantar yang ditulis oleh Dahlan Iskan.
Jadi, siapakah Dahlan Iskan yang sering disebut-sebut dalam buku ini? Ia adalah Redaktur Pelaksana dari Jawa Pos sejak dimandati tahun 1982. Tugas itu diberikan oleh Direktur Utama PT Graffiti Pers (Tempo grup), Eric Simola, yang mengambil alih Jawa Pos. Sejak saat itu, Dahlan memutar otak dalam mencari cara menjadikan JP imperium dalam dunia jurnalistik yang spektakuler.
Salah satu gebrakan Dahlan ialah menerapkan gaya menulis berita yang belum dikenal oleh media mana pun di Jawa Timur. Gaya tulisan itu kita kenal dengan sebutan features.
Seiring berjalannya waktu, gaya penulisan itu menjadi ciri khas JP dan membuatnya menjadi koran yang paling ditunggu pembaca masa itu. Tak mudah memang mengubah kebiasaan para awak JP yang notabene memiliki gaya penulisan straight.
Oleh sebab itu, Dahlan yang dikisahkan Sulaiman memiliki ciri khas diri yang keras dan cuek oleh para kru, memberi peringatan akan mengosongkan boks, bila kru tidak punya tulisan feature satu pun. “Penugasan yang diberikan Dahlan terkesan cuek. Namun, menjadikan seorang wartawan lebih mandiri,”tulis Sudirman.
Kemudian, Roso Daras mengingat kembali tentang titipan bosnya, Dahlan, untuk BJ. Habibie. Pertanyaannya “Pak Habibie, mengapa Anda pintar?”. Pertanyaan itu sontak membuat Habibie tertawa.
Sulaiman Ros berbagi pengalaman dalam meliput berita terutama dalam menemui nara sumber yang tidak mungkin untuk ditemui. Namun, berkat akalnya yang cerdas selalu saja ada jalan. Meskipun ia pernah menyalahi etika jurnalistik dalam proses memperoleh berita eksklusifnya. Segalanya karena ambisi untuk tidak mengecewakan Koordinator Liputan (Korlip) terutama bosnya, Dahlan.
Santoso Bondhet juga dengan bangga menceritakan tentang keberhasilannya dalam menyerahkan penugasannya langsung kepada Pimpinan Redaksi, Dahlan. Dalam perjalanan karirnya sebagai wartawan, ia belajar secara otodidak. Mulai dari membaca koran lalu merevisinya setiap hari, atau belajar komputer secara tiba-tiba karena mesin ketik yang harus ditinggalkan. Semuanya ia kerjakan sendiri.
Lain lagi dengan kru yang satu ini. Djono W. Oesman berkisah soal bagaimana ia bergabung dengan JP. Pun tentang kepercayaan Dahlan pada dirinya untuk menulis boks yang terkenal tingkat kesulitannya.
Bambang Supriyantoro yang bergabung dengan JP di tahun 1984 membagikan pengalamannya tentang kata-kata Dahlan Iskan yang sulit ia lupakan. Waktu itu, Dahlan berkata “Terserah Anda mau kalah atau jadi pemenang dalam pertarungan dan pertempuran. Tapi ingat, Jawa Pos tiap hari harus menang, tak ada kamus kalah”.
Semangat menang itulah membuat Bambang menghiraukan kelemahannya yang tak suka bicara atau menulis. Setiap saat ia belajar tak kenal bosan, sambil bergelut dengan dunianya yang baru menjadi wartawan JP.
Selanjutnya, Slamet Oerip Prihadi mengenal Dahlan Iskan sebelum ia bergabung dengan Jawa Pos. Slamet memanggil Dahlan bos sejak 1986 ketika JP menembus tiras 100 ribu eksemplar per hari.
Yok Sudarso memiliki sudut pandang lain dalam memutar kembali memori soal Dahlan. Ia bercerita bagaimana dirinya sering menjadi ojek andalan bagi Dahlan.
Salah satu pengalaman tak terlupakan bagi Yok, ketika Dahlan meminta untuk diantarkan ke Bandara menyusul Eric. Pada kecepatan 80 km/jam Dahlan masih bersikukuh untuk tetap menambah kelajuan motornya. Hingga dari Kembang Jepun ke Bandara ditempuh dalam waktu 45 menit saja.
Beda lagi dengan Abdul Muis. Kru yang satu ini memiliki kenangan yang kocak dengan Dahlan. Waktu itu pernah Dahlan menyuruhnya untuk pindah ke Jakarta, namun ia berkata jika ingin meminta izin kepada ibunya terlebih dulu.
Sontak Dahlan mengatakan “Muis belum sunat” sambil tertawa. Dengan begitu Muis yang malu, seketika pulang. Akan tetapi, sejak saat itu semua perintah Dahlan tidak akan ditolak.
Pada era kebangkitan JP, semua wartawan bekerja kesetanan. Dahlan mendapat pasukan yang hebat, yang kemudian diberi nama The Dream Team oleh Slamet. Berbagai ide untuk membuat oplah JP meningkat telah dilakukan Dahlan. Kerja rodi yang mereka lakukan menghasilkan kemakmuran bagi generasi sesudahnya.
Api Revolusi merupakan buku yang mengantar para pembaca merasakan kisah-kisah para wartawan di era kebangkitan Jawa Pos. Terlebih foto-foto mereka saat itu yang ditemui di beberapa halaman belakang buku.
Sisi kepemimpinan Dahlan yang membuat bekas di setiap hati penulis buku ini adalah bukti semangat yang Dahlan berhasil tularkan. Namun tak melulu soal jurnalistik, buku ini cocok bukan hanya untuk kalangan wartawan.
Djono W. Oesman sebagai editor mengatakan “Ada dinamika dan romantisme profesi di buku ini. Dinamika yang mengajak Anda semangat berkarya, bidang apa pun. Romantisme yang menyeret Anda mencintai profesi. Dan, kehidupan.” Selamat membaca.
Judul Buku : Api Revolusi, Jawa Pos Kembang Jepun
Penulis : Abdul Muis, Bambang Supriyantoro, Berto Riyadi, Ganet Boedi Oetomo, Iwan Irawanto, Koesnan Soekandar, Roso Daras, Santoso, Slamet Oerip Prihadi, Sudirman, Sulaiman Ros, Yok Sudarso
Editor : Djono W. Oesman
Pengantar : Dahlan Iskan
Cetakan : Cetakan I, Januari 2018
Tebal : 194 Halaman
ISBN : 978-602-51218-2-1
Penerbit : Tankali
A. Suci Islameni