“Dia sangat berintegritas pada seni, menghabiskan hidup untuk seni. Sosok itu pantas disematkan pada Ridwan Effendy”
Seorang seniman teater, penulis buku dan wartawan, pria kelahiran Makassar, 17 September 1959 ini berperan besar dalam membangun dan mempertahankan kesenian di Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia adalah Ridwan Effendy, Dosen Senior Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas), akrab disapa RE oleh kawannya.
Ridwan menyelesaikan program Sarjana Jurusan Kesusasteraan Unhas pada 1985. Selang setahun setelahnya, ia mendirikan Teater Kampus Unhas (TKU) hingga lulus tahun 1987. Di tahun itu juga, dirinya diangkat sebagai dosen di fakultasnya dengan mengampu mata kuliah Analisis Drama dan Sosiologi Sastra. Ridwan pun kemudian melanjutkan studi Magister Ilmu Susastra di Universitas Indonesia (UI) dan selesai tahun 1994.
Ridwan tercatat pernah ikut merancang aksi merebut gedung kesenian di Makassar, Societeit de Harmonie bersama 200 seniman lainnya. Sebelum era reformasi, gedung peninggalan Belanda itu silih berganti ditempati berbagai instansi pemerintah sehingga fungsinya sebagai gedung kesenian tenggelam pada masa itu.
Ketika reformasi 1998, mereka yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Seniman Proreformasi (Kasprosi) ingin mengembalikan Gedung Societeit de Harmonie sebagai pusat pergelaran seni. Bak hasil yang berbuah manis, Ridwan lalu menjadikan Societeit de Harmonie sebagai gedung yang berfokus untuk pentas teater, tari, musik, dan pameran seni rupa yang beroperasi hingga sekarang.
Perjuangannya dalam mengembalikan fungsi gedung kesenian Societeit de Harmonie ini membuat Ridwan diangkat menjadi Manajer Program Acara gedung kesenian Societeit de Harmonie. Ia dan pekerja seni lainnya menghadirkan pertunjukan dan pameran seni, seperti teater Payung Hitam (Bandung) serta Bandar dan Tetas (Jakarta). Di gedung ini juga, pusat kebudayaan asing dari berbagai negara rutin digelar dengan meriah walau dengan keterbatasan fasilitas.
Sebagai seorang seniman, Ridwan pernah menggarap pementasan teater berjudul Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat K Miharja (2006) dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam (2007). Setahun setelahnya, ia kembali menampilkan teater berjudul Sandiwara Konglomerat Burisrawa karya N Riantiarno.
Ridwan terpilih menjadi sutradara terbaik dalam Festival Teater Mahasiswa se-Indonesia Timur, lewat peragaan teater berjudul “Orang Gila di Atas Atap.” Sebelum meninggal dunia, ia sempat menampilkan karya produksinya berjudul “Ayah Pulang.”
Seni bagi Ridwan bagaikan separuh hidupnya. Pasalnya, keseharian Ridwan banyak ia habiskan di gedung kesenian tersebut.
“Ia mudah ditemui di Gedung kesenian Societeit de Harmonie. Selepas mengajar di FIB Unhas, ia menghabiskan waktunya di Gedung tersebut,” ujar Nurlina Syahrir, Istri Ridwan Effendy, Senin (28/10).
Tak hanya berkecimpung di dunia teater, Ridwan pernah menyutradarai dan bermain pada sejumlah film hingga sempat menulis buku. Buku-buku yang pernah ia tulis antara lain I Tolok Karya Rahman Arge: Studi Hubungan Antarteks, A. Amiruddin: Nakoda dari Timur, dan Seni Tradisional Sulawesi Selatan. Ia juga pernah terlibat sebagai editor buku Perkembangan Kesenian di Sulawesi Selatan dan Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan.
Selain buku, Ridwan aktif menulis artikel, kritik, dan resensi di media cetak lokal. Ia membentangkan kariernya sebagai seorang wartawan, tetapi tetap menjaga integritas di bidang kesenian dan kebudayaan. Ia tercatat pernah menjadi wartawan generasi pertama Harian Fajar pada 1982 hingga 1984 dan Redaktur Pelaksana Majalah Pro-Golf Jakarta tahun 1996 hingga 1997.
“Selain integritasnya pada seni, ia adalah sosok yang sangat gigih dalam memperjuangkan sesuatu,” ujar dosen Universitas Negeri Makassar itu.
Diketahui, Ridwan Effendy menghembuskan nafas terakhinya pada 19 Oktober 2013, beberapa saat setelah bercanda dengan beberapa seniman di gedung kesenian. Ia diduga mengalami serangan jantung karena telah lama mengidap penyakit dan sempat beberapa kali dirawat di rumah sakit.
Namun, penyakitnya itu tak menghalangi Ridwan untuk tetap aktif. Ia bahkan sempat datang mengajar dan kegiatan di kampus yang secara penuh dia ikuti seperti lokakarya penyusunan kurikulum.
“Dia orangnya cukup tertutup dan jarang sekali mengungkapkan perasaan. Ia cuman selalu bilang, hidup itu harus seimbang dan bekerja sesuai personality kita,” sebut istrinya itu.
Di keluarga, Ridwan dikenal memiliki kepribadian yang suportif. Nurlina mengungkapkan, walaupun anak mereka tidak memiliki darah seni seperti dirinya dan sang suami, ia tidak pernah memaksakan bakat dan segala investasinya di dunia seni kepada anaknya.
Nurul Fitrah