Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas bekerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan (BPNB Sulsel) dan Balai Litbang Agama Makassar, mengadakan Seminar Internasional dengan tema “Conflict and violence: Historical Reconstructions and Cultural Resolutions“, di Hotel Aryaduta, Makassar, Selasa (27/8).
Seminar yang berlangsung dalam tiga hari tersebut, dimulai sejak Selasa-Kamis (27-29/8). Adapun tujuan diadakannya acara ini untuk mempertemukan berbagai kalangan, baik itu akademisi, praktisi, dan aktivis sosial dan budaya. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat mendiskusikan kompleksitas persoalan kekerasan yang muncul dalam masyarakat.
Adapun jumlah peserta acara ini sebanyak 150 orang. Mereka terdiri atas tiga keynote speakers, 22 pemakalah undangan, 26 pemakalah seleksi, 16 panitia BPNB Sulsel, 14 moderator, delapan Notulis, dan 61 peserta.
“Secara general, sebetulnya kita berharap di sini kumpul para pakar, akademisi, dan praktisi. Jadi isu kekerasan dan konflik itu bisa kita dengar bersama dan ada solusi untuk banyak hal, utamanya tentang isu kekerasan masa kini,” jelas Risma, Ketua Panitia kegiatan.
Di Unhas sendiri, mereka mengirimkan delapan pemakalah yang terdiri dari enam pemakalah utama dan dua pemakalah seleksi. Adapun yang menjadi pemakalah utama yakni, Prof Dr A Rasyid Asba MA (Bara di Balik Integrasi Revolusi: Persaingan Elite di Bone 1945-1950), Prof Dr Pawennari Hijjang MA (Penguatan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam meredam Fenomena Radikalisme), Prof Mahmud Tang MA (Self Help: A Cultural Procedure In Conflict Resolution Among The Buginese and Makassaresse In The Old Time South Celebes), Dr Andi Suriadi Mappangara MHum (Mem’PKI’kan: Studi Kasus Karaeng Massoale di Bantaeng), Dr Bambang Sulistyo EP MS (Perubahan Sosial dan Konflik Tanah Perkebunan), dan Dias Pradadimara MA (Membaca kekerasan di Indonesia: Adakah pelajaran dari Membaca Partition 1947).
Sedangkan yang menjadi pemakalah seleksi yakni, Magriet Moka Lappia dan Andi Lili Evita (Politisasi Ideologi dalam Lintas Sejarah), dan Fathul Karimul Khair (Religion before politics of Identity: Critical-Reflection to the History of DI/TII in Southeast Sulawesi).
Lebih lanjut, Risma menyampaikan harapannya terkait kegiatan tersebut.
“Harapannya, semoga akan banyak seminar-seminar internasional serupa. Jadi akan ada banyak pertemuan para akademisi, sejarawan, budayawan, dan praktisi. Kemudian membicarakan suatu hal yang penting dan menghasilkan solusi untuk negara,” harapnya.
M15