Apa jadinya jika sebuah ramuan jamu bisa membuat seseorang berubah menjadi zombi?
Begitulah cerita dari Abadi Nan Jaya, sebuah film horor dengan identitas nusantara kental yang mengkombinasikan unsur budaya lokal, konflik keluarga, serta penyebaran wabah zombi.
Kisahnya berpusat pada keluarga pemilik usaha jamu tradisional di desa fiktif Wanirejo, Yogyakarta. Kepala keluarga, Sadimin (Donny Damara) menyuntikkan ambisi besar untuk menciptakan ramuan keabadian.
Akan tetapi, ambisi tersebut memicu malapetaka. Jamu inovatifnya justru menjadi pemicu wabah yang mengubah penduduk desa menjadi makhluk mengerikan.
Awalnya, racikan jamu itu sempat menunjukkan hasil yang tampak menjanjikan. Rambut yang memutih perlahan kembali hitam, keriput di wajah memudar, serta tubuh tampak terlihat segar dari sebelumnya.
Perubahan ini membuat Sadimin semakin yakin, ambisinya berada di jalur yang benar. Namun, pada saat itu juga, tanda-tanda ganjil mulai bermunculan dan ia memilih mengabaikannya demi mengejar hasil yang dianggap sebagai keberhasilan.
Sementara itu, putrinya Kenes (Mikha Tambayong) dan karakter-lain seperti Karina (Eva Celia) dan Rudi (Dimas Anggara), berada di tengah konflik keluarga yang telah lama retak, sebelum wabah mulai menyapu desa mereka.
Sebelum wabah benar-benar meledak, ketegangan sempat terjadi di dalam keluarga Sadimin. Hubungan ayah dan anak yang dingin, keputusan sepihak, serta ambisi yang dipaksakan, perlahan memicu konflik dari dalam rumah sendiri.
Pada film ini, para pemeran tampil dengan penuh penghayatan. Donny Damara berhasil memerankan dengan obsesi dan kegilaan yang memuncak dalam keputusasaan. Selain itu, Mikha Tambayong sebagai Kenes, mampu menghadirkan sisi emosional ketika ia harus berhadapan dengan ayahnya sendiri.
Selain itu, peran Eva Celia dan Dimas Anggara, memperkuat dinamika cerita melalui karakter yang masing-masing membawa beban konflik tersendiri.
Pemeran pendukung seperti tim zombi juga mendapatkan perhatian khusus saat melakukan syuting. Sang koreografer, Boby Ari Setiawan melakukan riset hingga enam bulan dan merancang lebih dari 200 gerakan berbeda-beda untuk para pemeran.
Usaha ini menghasilkan tampilan zombi yang terasa organik dan bukan sekadar tiruan dari model barat.
Secara visual, film Abadi Nan Jaya memanfaatkan latar pedesaan Yogyakarta dengan nuansa lembap, tanah merah, sawah, yang mendukung atmosfer terasa tak nyaman dan mendukung ketegangan horor.
Penggunaan musik dan suara juga memainkan peranan penting, terutama dalam adegan transformasi zombi. Suara napas yang berat dan gerakan tubuh tak wajar, menciptakan atmosfer gelisah.
Dibalik kegilaan zombi pada film Abadi Nan Jaya, ada pesan moral yang cukup tajam. Ambisi manusia yang terkendali serta keinginan untuk abadi dan kekuasaan atas alam, dapat berujung petaka.
Desa sunyi dan damai itu pun menjadi saksi dari tragedi atas keserakahan ini. Konsep jamu yang seharusnya menyembuhkan, justru menjadi awal kehancuran.
Secara keseluruhan, Abadi Nan Jaya layak untuk ditonton, bukan karena sensasi makhluk undead-nya, tetapi karena keberanian untuk mengangkat cerita yang sangat “Indonesia” melalui kearifan lokal, estetika pedesaan, dan konflik manusia yang universal.
Jika kamu mencari tontonan yang memacu adrenalin sekaligus mengajak merenung, film ini layak Sobat iden dipilih. Ia mengajak kita berhenti sejenak dan bertanya, “Apa harga yang sebenarnya harus dibayar saat melawan kefanaan?”
A. Devi Juniza L.
