“Bapak keras kepada saya. Kadang-kadang juga membuat jengkel. Saya selalu lakukan apa yang dia mau, tapi tetap banyak sekali maunya,” kenang Prof Dr rer nat Wira Bahari Nurdin sambil mengerutkan kening.
Demikianlah penuturan anak kedua Prof Nurdin Yatim, Guru Besar Sastra Inggris Unhas yang telah gugur 12 tahun silam. Pria yang akrab disapa Deng Gassing ini menempuh pendidikan Sarjana di Fakultas Sastra Unhas 1965 dan menyelesaikan pendidikan Magister di Singapura 1979. Lalu melanjutkan studi Doktor di Unhas 1982. Hingga pada 1 Oktober 1993, ia berhasil meraih gelar Guru Besar Sastra Inggris Unhas dengan pangkat terakhir sebagai Pembina Utama Golongan IV/e. Selain menjadi dosen, Nurdin pernah mengabdi kepada Unhas dengan menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Sastra 1970, Direktur Pusat Bahasa 1983, dan Sekretaris Lembaga Penelitian 1988.
Laksana pejuang keluarga, Nurdin dikenal sebagai sosok yang memiliki mentalitas perjuangan amat luar biasa. Potretnya merupakan contoh nyata tentang bagaimana kegigihan, cinta, serta tekad dapat mengubah takdir dan membawa harapan kepada generasi selanjutnya.
Sembari duduk di kursi hitam, Wira mulai menceritakan momen kebersamaan dengan bapaknya semasa hidup. Ia menuturkan, Nurdin adalah figur orang tua yang tegas, sederhana, tidak ingin tampil eksklusif, dan cenderung tidak sabaran. Bagi Wira, karakter intoleransi bapaknya menurun dari memori perjuangan zaman dahulu.
“Saya masih ingat saat beliau menunggu mobil untuk ke sekolah. Kalau tidak ada mobil terus yang ada cuma mobil truk, nah dia naik di situ. Apa yang bisa kita harapkan dengan mentalitas yang begitu keras,” ujar Guru Besar Prodi Fisika Unhas tersebut.
Namun terlepas dari itu, Wira tak menepis jika pesan bapaknya masih membekas dalam ingatannya. Nurdin selalu berpesan agar realistis dalam menghadapi masalah, fokus pada satu impian, dan harus mengedepankan pendidikan. Menurutnya, lebih baik mewariskan pendidikan dari pada modal harta. Sebab harta bisa dicari dengan modal pendidikan.
Tak hanya keluarga, Nurdin sangat mendukung pendidikan mahasiswa, hal itu terlihat saat lawatannya ke Inggris bersama mahasiswanya. Pesan yang disampaikannya pun hingga kini masih membekas dalam ingatan anak didiknya yang sekarang juga menjadi dosen Sastra Inggris Unhas. Ia selalu memotivasi mahasiswa untuk belajar dan membimbing dosen muda agar memajukan nama kampus.
“Dalam perjalanan itu, beliau selalu berkata negeri ini perlu yang muda-muda. Maka belajarlah lebih banyak supaya bisa mengembangkan fakultas terutama jurusan Sastra Inggris,” ujar Syafri, Kamis (29/08).
Syafri juga mengungkapkan bagaimana cara mengajar Nurdin yang telah tersentuh nuansa modern kala itu. Nurdin sudah sering menggunakan proyektor ketika menjelaskan. Padahal saat itu, sebagian besar dosen belum mahir menggunakan alat tersebut bahkan beberapa masih menggunakan papan tulis.
“Saat 1974, dia sudah membuat suatu gebrakan baru dalam cara mengajarnya, yaitu menggunakan slide show. Waktu itu dia juga menggunakan proyektor yang tulis tangan,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Semangat pendidikan dan ketegasan yang dimiliki Nurdin tidak hanya dirasakan oleh anak dan mahasiswanya, para menantu dan cucunya pun turut merasakan. Bahkan Nurdin dianggap sebagai bapak kandung kedua.
Prof Dr rer nat Marianti A Manggau Apt, Dekan Fakultas Farmasi yang telah menjadi menantu Nurdin sejak 1994 mengatakan, Nurdin merupakan mertua yang sangat sederhana, penyayang, pekerja keras, dan gigih dalam mengemban amanah.
Menyambung pernyataan Wira sebelumnya, Marianti turut mengakui sikap keras Nurdin dalam membimbing anak-anaknya. Tak heran jika ketujuh anaknya berhasil meraih kesuksesan. “Pertama dokter, kedua Guru Besar Fisika, ketiga Dosen Hukum, keempat Teknik Perkapalan, yang Kelima Teknik Arsitek, keenam Teknik Elektro, dan terakhir alumni Akuntansi yang saat ini bekerja di PLN,” ujarnya.
Tak banyak pula yang tahu, kebiasaan berkebun Nurdin hingga memiliki beberapa sawah juga dilirik oleh Marianti. Masih terlintas dalam pikiran, Marianti selalu diajak berkebun saat hari libur bahkan sempat terlintas ide ingin membangun sebuah pabrik air minum.
“Saya kan orang farmasi ya, beliau pernah bilang bagaimana kalau kita bikin pabrik air minum,” tutur istri Wira itu.
Namun sayangnya, rencana tersebut belum terealisasikan hingga Nurdin berpulang pada 15 Agustus 2011. Kepergiannya pun meninggalkan duka mendalam bagi orang terdekatnya. Meski demikian, sumbangsih pemikiran dan kontribusinya kepada kampus akan selalu jadi catatan manis di kalbu para mahasiswa dan rekan kerjanya.
Di samping itu, kesuksesan anak-anaknya menjadi bukti nyata investasi mental yang diwariskan. Dalam setiap kisah inspiratifnya, ia sering kali menjadi tokoh belakang layar yang tanpa henti menempa, mendorong, dan menginspirasi orang-orang yang dicintainya menuju puncak kesuksesan. Dengan mentalitas perjuangan yang telah terbentuk melalui ujian dan rintangan kehidupan, pria kelahiran Gowa 1941 ini adalah contoh hidup tentang bagaimana tekad dan ketekunan dapat mengubah nasib seseorang.
Miftahul Janna