Menurut hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, terdapat 718 bahasa yang ada di Indonesia. Dari jumlah ini, hampir 90 persen berada di wilayah timur Indonesia: 428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi.
Kekayaan bahasa tersebut, nyatanya menjadi kekhawatiran besar yang melanda bangsa ini. Kecemasan bahasa terancam punah. Menurut badan bahasa kemdikbud terdapat 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi stabil tetapi terancam punah, dan 21 bahasa berstatus aman.
Bukan hanya bahasa, aksara-aksara juga terancam punah. Hilang karena penuturnya semakin sedikit, namun begitu upaya pelestarian secara digital juga sangat rendah. Salah satu aksara yang harus menjadi perhatian yakni aksara lontarak.
Menyikapi hal tersebut, tiga mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis yaitu Nurfadillah, Hamzah Haz dan Putri Firsati Ronia, dengan mahasiswa Fakultas Teknik, Rahmat Maulana Nur, dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Firmansyah dengan dosen pendampingnya, Shinta Dewi Sugiharti Tikson, S E M Mgt tergerak membuat Pelestarian Aksara Lontara. Inovasi Lontara Pop Up Story Book berbasis QR Code sebagai media pembelajaran siswa di SDN 191 Inpres Paku.
Ketua Tim, Nurfadillah menjelaskan proses pembuatan Pop Up Story Book melalui tahapan yang cukup panjang. Prosesnya dari penentuan cerita yang akan diadopsi. Menerjemahkan cerita ke bahasa Bugis-Makassar, kemudian dituliskan dalam huruf aksara Lontarak.
Setelah itu membuat Pop Up Story Book, dari layout dan desain buku serta sketsa tokoh, selanjutnya dicetak menggunakan jasa pihak ketiga. Dalam menjalankan kegiatan PKM Pengabdian Masyarakat ini, mereka menggunakan anggaran 8 juta rupiah.
Aspek yang membedakan inovasi ini dengan penemuan lain yakni berbentuk cerita dalam huruf aksara lontarak yang terhubung dengan website. Meskipun menggabungkan dengan teknologi, namun tidaklah menjadi kendala sebab anak-anak sudah memiliki telepon dan biasa belajar menggunakan gadget.
Mahasiswa yang kerap disapa Dilla ini, mengklaim inovasi tersebut mempunyai efektivitas dalam mendukung proses belajar aksara Bugis. Pemantauan tersebut diukur melalui tiga metode yaitu monitor langsung, monitor melalui guru, dan monitor melalui orang tua.
Media pembelajaran aksara Bugis ini mempunyai dua bentuk yakni berupa buku fisik dan scan digital dengan website yang dapat di akses dengan QR Code.
Pop Up Story Book dalam bentuk buku didesain menarik dengan gambar tiga dimensi, agar siswa tertarik belajar aksara lontarak. Kemudian dalam bentuk scan digital, siswa harus menggunakan smartphone untuk scan QR Code.
“QR Code ini tertera di buku Pop Up Story Book yang akan mengarahkan siswa masuk ke dalam halaman website,” jelas Firman Selasa (02/11).
Dalam website memuat beberapa fitur, seperti cerita rakyat, huruf-huruf lontarak, dan aksara, serta tulisan maupun suara yang merupakan terjemahan dari aksara Bugis dalam Pop Up Story Book bentuk fisik.
Cerita rakyat yang disampaikan adalah kisah Nenek Pakande. Cerita yang menggambarkan seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di Soppeng, Sulawesi Selatan.
Kisah mistis seorang nenek yang suka memangsa bayi dan juga anak-anak kecil. Nenek Pakande dipilih lantaran menceritakan kecerdikan, keberanian, dan kepatuhan anak kepada orang tua. Dianggap sesuai dengan siswa yang menjadi target metode pembelajaran.
Inovasi tersebut sudah diterapkan di SDN 91 Inpres Paku saat mereka melakukan pengabdian. Sejauh ini website tersebut berjalan sesuai harapan, dengan memudahkan mitra dalam mempelajari aksara lontarak.
Sesuai program keberlanjutan tim PKM-PM, ke depannya akan membentuk komunitas pecinta aksara lontarak yang siap melanjutkan program kami pada mitra.
“Berharap terobosan ini mampu dikelola dengan sebaik mungkin oleh mitra dan bisa menjadi pemantik munculnya inovasi baru dalam hal pelestarian aksara lontarak,” tutup Firman.
Alya Nur Azzahra, Ivana Febrianty