Ketika masa kuliah tiba, tidak sedikit orang memilih untuk menempuh pendidikan di luar daerah asalnya. Di kota, para mahasiswa umumnya memilih indekos sebagai tempat tinggal sementara. Hidup di indekos identik dengan ruang sederhana dan suasana yang dipenuhi hiruk pikuk mahasiswa dari berbagai latar belakang.
Sebagai makhluk sosial, mahasiswa tidak dapat hidup sendiri. Mereka butuh menjalin pertemanan untuk mendukung kebutuhan emosional dan sosial mereka. Akan tetapi, hal pertemanan di dunia rantau tidak terjalin begitu saja. Kehidupan di indekos menciptakan dinamika unik untuk pengungkapan diri dalam menjalin hubungan sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi beserta tim menilik fenomena tersebut dengan judul “Dinamika Pengungkapan Diri dalam Persahabatan Mahasiswa di Indekos: Analisis Berdasarkan Teori Penetrasi Sosial”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teori penetrasi sosial untuk memecahkan proses pengungkapan diri mahasiswa.
Teori Penetrasi Sosial yang diperkenalkan Altman dan Taylor pada 1973 menjelaskan, hubungan interpersonal berkembang melalui pengungkapan diri bertahap, mulai dari informasi umum hingga topik yang lebih intim. Proses ini membutuhkan kepercayaan yang tumbuh secara bertahap melalui interaksi konsisten.
“Umumnya tidak terlalu menceritakan masalah pribadinya kalau masih baru-baru, setelah beberapa bulan baru dia (mahasiswa) sharing-sharing pengalaman,” ungkapnya saat dihubungi melalui WhatsApp, Kamis (14/08).
Penelitian ini melibatkan sepuluh mahasiswa sebagai informan yang berasal dari kamar indekos berbeda. Hasil penelitian menunjukkan, hubungan interpersonal mahasiswa berkembang melalui empat tahap, yaitu orientasi, pertukaran afektif eksploratif dan afektif penuh, serta stabilitas.
“Dari pengamatan saya, jalinan hubungan sosial ini juga dipengaruhi perbedaan daerah asal, suku, bahasa dan karakter, serta jenis kelamin,” tutur Riyadi.
Dalam budaya kolektif di Indonesia, cara orang menjalin hubungan punya keunikan tersendiri. Di awal pertemanan, biasanya mereka lebih berhati-hati untuk membuka diri. Namun, setelah rasa percaya terbentuk, proses saling bercerita justru bisa berkembang lebih cepat.
Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan kajian dengan melihat bagaimana Teori Penetrasi Sosial berlaku dalam kehidupan mahasiswa indekos. Dalam kehidupan indekos, mahasiswa sering berinteraksi intens di ruang bersama, tapi pada saat yang sama mereka juga tetap membutuhkan privasi.
Empat Tahap Pengungkapan Diri
Pada tahap orientasi, mahasiswa cenderung berinteraksi secara formal. Percakapan lebih didominasi oleh topik-topik yang mudah diterima oleh semua orang, seperti asal daerah dan pengalaman kampus. Mereka lebih membatasi diri agar tidak terkesan agresif, sehingga menciptakan kesan yang baik.
Sementara tahap pertukaran eksploratif, mereka sudah mulai mencoba untuk sedikit terbuka. Pada tahap ini, topik pembicaraan mengenai pengalaman pribadi menjadikan hubungan mereka lebih erat dan mendalam. Jadi, interaksinya tidak terbatas pada topik umum saja.
Berbeda pula dengan tahap pertukaran penuh, hubungan persahabatan mereka lebih mendalam. Kepercayaan menjadi kunci dalam tahap ini agar interaksi terus berkembang hingga pada pengungkapan diri yang lebih intim. Pembicaraan seperti masalah keluarga, tantangan pribadi hingga permasalah emosional sering menjadi topik.
Kemudian, tahap stabilitas menjadi puncak hubungan dalam persahabatan mahasiswa di lingkungan indekos. Kepercayaan penuh menjadi pondasi utama dalam mengungkapkan diri pada tahap ini. Mereka merasa aman berbagi cerita yang sensitif karena yakin bahwa informasi tersebut akan dijaga dengan baik.
“Tidak semua hal-hal yang sensitif itu mereka ceritakan. Biasanya mereka lebih memilih konsul ke konselor di bawah perpustakaan Unhas,” katanya.
Penelitian ini juga menemukan bahwa tahap keempat untuk membuka diri tidak sama di setiap budaya. Di Indonesia, yang menganut budaya kebersamaan, orang biasanya butuh waktu lebih lama untuk bercerita hal-hal pribadi. Hal ini karena ada norma sosial yang menekankan agar tetap menjaga keharmonisan dan berhati-hati saat berbagi cerita.
Mahasiswa biasanya bisa membedakan teman yang bisa diajak berbagi cerita pribadi dan sekadar teman satu kos saja. Sebelum curhat, mereka cenderung memperhatikan dulu sifat temannya. Misalnya, apakah dia bisa menjaga rahasia atau justru suka membocorkan cerita orang lain. Jadi, mereka melakukan semacam “pengecekan” terlebih dahulu.
“Biasanya mereka teliti dulu, dari ekspresi wajah, bahasa tubuh dan cara merespons untuk menumbuhkan kepercayaan. Namun caranya ini perlu waktu berbulan-bulan untuk benar-benar yakin terhadap karakter tersebut,” jelasnya.
Dukungan emosional dari hubungan pertemanan dapat memberikan dampak signifikan terhadap penguatan hubungan. Percakapan yang berfokus pada tujuan hidup dan tantangan pribadi mempererat kedekatan emosional, sekaligus memperlihatkan pola saling mendukung antar individu.
Ismail Basri
