“Menyusun dan menjalankan skenario kotor ini tak perlu kecerdasan atau kepintaran yang diperlukan cuma 2, mental culas dan tahan malu.” – Bivitri Susanti.
Tiga ahli hukum tata negara Indonesia, Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari berusaha menggambarkan panorama kotor dalam gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan mata telanjang lewat film dokumenter, Dirty Vote. Disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, film ini tidak hanya sekadar menyoroti isu politik biasa, tetapi merobek tirai kecurangan dan ketidakadilan yang melanda proses demokrasi di Indonesia hari ini.
Pendekatan film yang eksplanatori membawa penonton melalui kronologi peristiwa, mengungkap lapis demi lapis ketidakadilan yang terjadi. Lahir dari rahim demokrasi, namun berakhir dengan menabrak konstitusi untuk si buah hati. Begitulah gambaran yang ingin disampaikan dalam film yang berdurasi kurang lebih 177 menit tersebut.
”Tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk anda melakukan penghukuman,” pinta Zainal Arifin Mochtar di awal film mulai diputar.
Film ini dibuka dengan komentar para pakar mengenai Pemilu 2024, diikuti dengan cuplikan video Presiden Jokowi yang menunjukkan ketidak-konsistenan dalam jawabannya saat ditanya perihal ketertarikan anak-anaknya untuk ikut serta dalam kancah politik.
Selanjutnya, tiga ahli hukum tata negara tersebut secara bergantian memaparkan kronologi peristiwa yang terjadi dengan sebuah layar pratinjau besar yang digunakan sebagai latar belakang membantu penonton untuk lebih memahami konteks dan detail dari setiap peristiwa yang dibahas.
Uceng, sapaan akrab dari Zainal Arifin Mochtar, memulai penjelasannya dengan mengupas narasi satu putaran yang kerap digaungkan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam setiap kampanyenya.
Ia mencoba membandingkan elektabilitas pasangan calon Prabowo-Gibran dengan dinamika Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 dengan catatan bahwa dalam dua lembaga survei yang dianalisis, elektabilitas Prabowo-Gibran unggul secara signifikan dibandingkan dengan pasangan calon lainnya. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mencoba menggambarkan potensi kejutan dan kemungkinan skenario yang tidak terduga dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini.
Ia membuat analogi yang mengacu pada Pilgub DKI Jakarta 2017, di mana Pasangan Anies-Sandiaga akhirnya memenangkan putaran kedua setelah bertarung sengit dengan Pasangan Ahok-Djarot yang sempat memenangi putaran pertama, menunjukkan bahwa skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah kekalahan pasangan calon yang diunggulkan.
Dosen hukum tata negara di Universitas Andalas, Feri turut memaparkan tentang hubungan khusus antara para Penjabat (Pj) Gubernur dan Kepala Daerah, serta petinggi Polisi, dengan Presiden. Ia menggambarkan bagaimana hubungan ini dapat mengakibatkan ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Apalagi film tersebut terang-terangan menunjukkan cuplikan Pj Gubernur Kalimantan barat, yang meminta para bawahannya memilih presiden dengan visi melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Film ini juga tidak segan menyoroti politisasi bantuan sosial (bansos) yang viral di berbagai media sosial. Dengan tajam, film menunjukkan bagaimana lonjakan dana bansos yang digelontorkan pemerintah menjelang Pemilu menciptakan kecurigaan, sementara beberapa menteri terlihat membagikan bantuan sosial sambil melakukan kampanye politik.
Bivitri menganalogikan hal tersebut dalam teori politik “Gentong Babi”. Tindakan yang mampu membuat masyarakat memilih kembali si pemberi, padahal asal bantuannya bukan berasal dari kantung pribadi.
Film ini juga menyoroti lemahnya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menegakkan aturan. Klimaksnya adalah ketika film membuka peran penguasa tertinggi dan MK, terutama terkait keputusan kontroversial terkait pencalonan Gibran, yang berujung membuat Ketua MK sekaligus Paman Gibran, Anwar Usman harus didepak dari kursi jabatannya.
Film yang dirilis tiga hari menjelang Pemilu 2024 di Kanal Youtube ini seolah berusaha membuka cakrawala dan krisis kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Pemaparan data dan jahitan kronologis yang disusun begitu sistematis, hingga kredibilitas narasumber semakin meyakinkan penonton tentang gambaran situasi politik mendalam yang sedang terjadi.
Sayangnya, film ini tidak dikemas dengan begitu menarik bagi sebagian orang. Lebih dari dua jam durasi film hanya dipenuhi dengan narasi ahli yang memaparkan data dan analisis, yang bisa membuat beberapa penonton merasa bosan.
Meskipun demikian, Dirty Vote menjadi sebuah karya yang sangat penting dan layak ditonton. Film ini tidak hanya memberikan sajian tentang keburukan berpolitik di Indonesia, tetapi juga memperkuat kesadaran masyarakat akan kondisi demokrasi yang terus tergerus oleh kepentingan penguasa. Dengan menyajikan data dan narasi yang sistematis, film ini membangun gambaran yang kuat tentang kekacauan politik yang sedang terjadi.
”Desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang dapat menggerakkan aparatur dan anggaran,” tutur Uceng di akhir film.
Achmad Ghiffary M