Seorang news anchor tampil percaya diri menyampaikan berita dengan suara tegas dan bahasa tubuh yang profesional. Ia adalah Muhammad Gibran, seorang jurnalis asal Makassar yang kini memperluas karier di layar kaca nasional. Namun tak banyak yang tahu, di balik setiap siaran ada perjalanan panjang yang penuh perjuangan.
Gibran awalnya bercita-cita menjadi dokter gigi, tetapi takdir membawanya kepada jurusan Ilmu Komunikasi. Ia masuk di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 2011 melalui jalur Prestasi Olahraga, Seni, dan Keilmuan (POSK). Dirinya mengaku, sejak awal tak memiliki gambaran untuk berkarier di dunia jurnalistik.
Minatnya pun muncul ketika Gibran bergabung di Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK). Ia mendapat wawasan tentang jurnalistik dari cerita para seniornya. Dari sanalah ketertarikannya tumbuh, kemudian mendorongnya memilih program Broadcasting saat memasuki semester lima.
Memahami bahwa teori di bangku kuliah saja tidak cukup, Gibran mulai mencari pengalaman sejak semester awal. Ia diterima sebagai penyiar di Madama Radio Makassar pada akhir semester satu.
“Saya merasa bahwa kalau kuliah Ilmu Komunikasi itu tidak cukup hanya dengan teori. Maka dari itu, saya harus mencari pengalaman,” katanya, Selasa (11/02).
Gibran mencoba melamar di beberapa stasiun televisi, namun ditolak karena dianggap terlalu dini untuk terjun ke dunia televisi. Bahkan, ia pernah ditolak hingga sepuluh kali oleh TV lokal. Namun alih-alih menyerah, ia menggunakan setiap penolakan sebagai evaluasi diri.
Peluang datang ketika seniornya di Kompas TV Makassar merekomendasikan Gibran sebagai penggantinya. Setelah melewati serangkaian tes dan casting, ia pun diterima sebagai jurnalis di Kompas TV Makassar pada semester enam.
Sejak saat itu, kariernya di dunia jurnalistik mulai berkembang pesat. Ia mendapat tawaran untuk pindah ke Kompas TV Jakarta pada 2015 setelah resmi menyandang gelar sarjana. Empat tahun kemudian, Gibran melebarkan sayap perjalanan kerjanya dengan bergabung di CNBC Indonesia.
Gibran mengaku, menjadi seorang news anchor bukan hanya soal tampil di depan kamera dengan rapi dan profesional. Pria kelahiran Makassar itu menekankan bahwa dunia jurnalistik, terutama sebagai reporter, lapangan penuh dengan tekanan dan tantangan.
“Tantangan terbesar dalam menjadi jurnalis itu adalah bekerja di situasi yang mungkin tidak semua orang bayangkan. Saya pernah meliput tragedi, bencana alam, hingga demo besar. Deadline kami bukan hitungan jam, tapi menit bahkan detik,” jelasnya.
Salah satu pengalaman paling menantang yang pernah dihadapi adalah saat meliput gempa di Aceh pada 2016. Dalam situasi darurat, ia harus bertahan dengan kondisi seadanya.
“Saya tidak mandi tujuh hari karena air sulit didapat. Kami tinggal di tenda pengungsian dan makan seadanya. Itu tantangan tersendiri, tetapi itulah bagian dari pekerjaan sebagai jurnalis,” kenangnya.
Selain di lapangan, momen menantang juga datang ketika menghadapi narasumber dengan kredibilitas tinggi. Dirinya arus melakukan persiapan matang sebelum mewawancarai tokoh tokoh penting, seperti Sri Mulyani atau Luhut Binsar Pandjaitan.
Di era informasi yang serba cepat dan maraknya hoaks, seorang jurnalis harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan berita. Gibran menegaskan, integritas adalah prinsip utama dalam dunia jurnalistik. Ia selalu mengingat pesan seniornya bahwa seorang jurnalis harus berpihak pada kebenaran.
“Kita harus menyajikan informasi sesuai fakta dan data. Media memang memiliki agenda editorial, tetapi kita tetap harus menjaga independensi dan kredibilitas,” ungkapnya.
Bagi orang di luar sana yang ingin mengikuti jejaknya sebagai news anchor, Gibran menekankan seorang jurnalis harus memiliki keterampilan berpikir cepat, manajemen waktu yang baik serta pemahaman mendalam tentang isu isu yang sedang berkembang.
“Jangan berpikir bahwa menjadi news anchor itu hanya duduk di studio ber-AC dan tampil rapi di layar TV. Semua orang yang ada di studio itu pasti telah melewati proses panjang di lapangan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya membangun pengalaman sejak dini, baik melalui magang, siaran radio, atau kerja di media lokal. Baginya, bekerja di lapangan itu yang akan membentuk skill dan tidak perlu takut untuk memulai dari bawah dan terus belajar.
Perjalanan Muhammad Gibran yang bermula dari seorang mahasiswa yang tak punya gambaran tentang dunia jurnalistik, kini ia berdiri sebagai salah satu news anchor ternama di televisi nasional. Ini menjadikan bukti bahwa kerja keras dan dedikasi dapat membawa seseorang menuju impian yang bahkan tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Athaya Najibah Alatas