Demokrasi kerap dipandang sebagai sistem politik yang paling ideal. Namun, penerapannya ternyata tidak selalu sempurna. Hal ini tergambar dalam Film dokumenter All In: The Fight for Democracy yang menyoroti bagaimana implementasi demokrasi di Amerika Serikat.
Dokumenter dengan durasi sekitar 1 jam 40 menit ini mengajak penonton untuk menyadari bahwa perjuangan menjaga hak suara bukan hanya sejarah masa lalu, melainkan isu yang masih berlangsung hingga kini.
Film ini dibuka dengan sorotan pada pemilihan Gubernur Georgia tahun 2018, yang mempertemukan Stacey Abrams (Partai Demokrat) dengan Brian Kemp (Partai Republik). Kemenangan tipis Kemp yang kala itu menjabat sebagai Secretary of State, menjadi latar awal narasi.
Alih-alih fokus pada rivalitas politik, dokumenter garapan Lisa Cortes dan Liz Garbus ini menyoroti bagaimana sistem demokrasi di Amerika sering menghalangi kelompok tertentu untuk menggunakan hak pilihnya. Georgia menjadi contoh nyata. Negara bagian ini punya sejarah panjang diskriminasi terhadap pemilih kulit hitam.
Melalui rangkaian arsip dan wawancara, All In: The Fight for Democracy menunjukkan bagaimana uji melek huruf (literacy tests), pajak pemungutan suara (poll taxes), dan persyaratan identitas resmi digunakan untuk “menyaring” siapa yang boleh ikut menentukan masa depan negara.
Film ini juga menyoroti putusan Shelby County v Holder tahun 2013 yang diambil Mahkamah Agung Amerika Serikat. Putusan ini melemahkan Voting Rights Act dan memungkinkan negara bagian membuat aturan baru yang justru menyulitkan pemilih, terutama kaum minoritas.
Dampaknya, tingkat partisipasi pemilih di banyak negara bagian mengalami penurunan signifikan. Masyarakat kulit hitam tanpa kartu identitas resmi menjadi korban utama. Bahkan masyarakat asli Amerika yang tinggal berpindah-pindah pun terhambat untuk mendaftar sebagai pemilih karena tidak memiliki alamat tetap.
Film ini juga menyinggung tonggak penting dalam sejarah perjuangan hak pilih di Amerika. Mulai dari gerakan perempuan yang berujung pada Amandemen ke-19 tahun 1920, hingga perjuangan aktivis hak sipil pada 1960-an.
Cuplikan peristiwa Selma dan pengesahan Voting Rights Act oleh Presiden Lyndon B. Johnson menjadi pengingat betapa kerasnya perjuangan untuk mengamankan hak suara.
Struktur narasi dokumenter dirancang dengan rapi sehingga penonton dapat menangkap pola berulang dalam praktik pengekangan hak pilih dari masa ke masa. Gaya penyampaian ini memberikan nuansa perjalanan sejarah sekaligus peringatan untuk generasi saat ini.
Wawancara dengan tokoh-tokoh penting memberi bobot emosional pada film. Kehadiran Desmond Meade, yang memperjuangkan pemulihan hak pilih mantan narapidana di Florida, menjadi salah satu momen yang paling inspiratif. Begitu pula dengan mendiang John Lewis, ikon gerakan hak sipil yang kisahnya memberi kedalaman historis dan moral pada dokumenter ini.
Meskipun sarat muatan edukatif, All In: The Fight for Democracy terkadang terasa terlalu padat dengan informasi. Bagi sebagian penonton, banyaknya data dan kronologi bisa membuat perhatian terpecah. Film ini lebih efektif jika dilihat sebagai materi pembelajaran atau diskusi, bukan hiburan semata.
Perbandingan dengan konteks Indonesia juga menarik untuk dipikirkan. Di satu sisi, warga Amerika berjuang keras untuk mempertahankan hak suaranya, sementara di Indonesia masih banyak yang memilih golput. Bahkan, politik uang masih menjadi praktik umum yang mencederai semangat demokrasi.
Secara visual, dokumenter ini memadukan arsip sejarah, rekaman wawancara, dan ilustrasi grafis yang memperjelas data. Pendekatan ini membantu penonton memahami skala persoalan tanpa merasa terlalu digurui. Musik latar digunakan secukupnya untuk membangun ketegangan emosional, terutama pada bagian yang menyoroti momen penting sejarah.
Film ini menjadi produk unggulan Amazon Studios untuk nominasi Best Documentary Feature. Namun, secara keseluruhan film terasa lebih berfungsi sebagai pengingat daripada karya yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Penonton mungkin menghargai pesan moralnya, tetapi tidak semua akan menganggapnya sebagai dokumenter yang inovatif.
Kekuatan utama film ini terletak pada relevansi temanya di era kontemporer. Isu pembatasan hak pilih bukan hanya masalah Amerika, tetapi juga bisa terjadi di negara lain yang mengaku demokratis.
Hak suara adalah sesuatu yang berharga dan tidak boleh disia-siakan. itulah pesan utama yang ingin disampaikan oleh film ini. Kisah para pejuang demokrasi mengingatkan bahwa partisipasi politik adalah kewajiban setiap warga negara. Pilihan untuk tidak memilih sama saja dengan membiarkan pihak lain menentukan arah masa depan bangsa.
All In: The Fight for Democracy mungkin tidak spektakuler secara artistik, tetapi berhasil menjalankan fungsi sosialnya. Dokumenter ini mendidik, menginspirasi, dan menegaskan bahaya apatisme politik. Sebuah tontonan yang layak untuk siapa saja yang ingin memahami bagaimana demokrasi bekerja dan apa yang bisa merenggutnya.
Syahrial
