Sepanjang sejarah peradaban, manusia memiliki peran penting dalam perubahan yang terjadi di lingkungannya. Hal ini tidak terlepas dari pandangan filsafat barat yang mengedepankan pandangan antroposentris, sebuah pandangan yang menganggap bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat mengatur seluruh sumber daya lain untuk keperluannya. Pandangan ini membuat manusia merasa menjadi makhluk istimewa kesayangan Tuhan, sehingga dewasa ini menjadi bumerang bagi kehidupan akibat eksploitasi berlebihan dengan landasan antroposentris ini.
Pandangan antroposentrisme yang terlalu mengedepankan pemikiran bahwa manusia adalah penentu kebijakan terhadap alam semesta menjadi suatu hal yang menyebabkan manusia terlalu mudah dalam merusak alam dan lingkungan. Padahal hasil dari antroposentrisme mewajibkan sebuah tanggung jawab besar terhadap lingkungan. Seharusnya manusia sebagai penentu arah kehidupan makhluk lain harus bertanggung jawab atas kehidupan makhluk lain.
Jika ditarik jauh pada pengembangan pemikiran ilmu pengetahuan, pemikiran antroposentris lahir pada masa perkembangan pemikiran Renaissance yang mengedepankan sains-empiris dengan menyisihkan nilai-nilai spiritual. Penyisihan nilai spiritual inilah yang menyebabkan kezaliman Homo sapiens.
Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada revolusi industri pertama pada abad ke-18, manusia atau lebih spesifiknya Homo sapiens telah banyak mengintervensi dan mengubah kehidupan makhluk lainnya dalam hampir 4 abad terakhir. Sebut saja pada awal terjadinya revolusi industri, berkurangnya kupu-kupu Biston betularia berwarna terang di Inggris setelah terjadinya revolusi industri merupakan suatu seleksi alam, jika mengambil teori Darwin. Kupu-kupu itu tidak mampu beradaptasi akibat dampak dari perbuatan manusia pada lingkungannya.
Revolusi industri telah berdampak pada lingkungan tempat hidup manusia, bahkan sampai berdampak pada seluruh makhluk hidup di dunia. Sebut saja pada 2023, ungkapan “global boiling” atau pendidihan global sudah marak diucapkan untuk menggeser ungkapan “global warming” yang dianggap sudah tidak relevan karena naiknya suhu bumi yang sangat drastis akibat ulah industrialisasi. Seorang Paus Fransiskus bahkan mengampanyekan tobat ekologis yang merupakan ajakan untuk lebih memperhatikan lingkungan yang kita tinggali.
Dunia modern saat ini berkembang tanpa adanya nilai aksiologis yang menggunakan spiritual sebagai pembatas atas kebebasan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan memiliki moral. Padahal nilai-nilai inilah yang akan bisa membatasi kebejatan manusia yang akan mengakibatkan krisis ekologis. Krisis ekologis yang terjadi akibat manusia inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan alam dan bencana yang terjadi di mana-mana saat ini.
Menjadi tanggung jawab seorang intelektual untuk menjaga keselarasan alam. Perubahan paradigma filsafat lingkungan yang awalnya dari antroposentris harus menjadi ekosentrisme. Sebuah keyakinan yang mengedepankan bahwa seluruh makhluk hidup, baik manusia dan non-manusia, memiliki hak yang setara dalam lingkungannya.
Perkembangan sains hari ini tidak dapat dinafikan masih jauh dari tanggung jawab akan lingkungan hidup. Penambangan tanpa adanya usaha mereklamasi yang sudah dirusak seringkali tidak dilakukan. Perusakan lingkungan berupa pembukaan lahan tanpa tanggung jawab pun hingga saat ini masif dilakukan. Belum lagi hal-hal yang dilakukan tanpa tanggung jawab lainnya.
Ilmu pengetahuan seharusnya menunjukkan keberpihakannya pada kebenaran dan keadilan sebagai nilai, termasuk juga nilai-nilai yang berpihak pada lingkungan. Pada saat ini, negara-negara maju telah tersadarkan bagaimana prinsip-prinsip ekosentrisme harus diterapkan untuk mencegah dunia semakin rusak akibat tidak adanya tanggung jawab intelektual. Berbeda dengan biosentrisme yang berfokus pada seluruh yang hidup, ekosentrisme lebih holistik membahas tentang bumi sebagai tempat utama seluruh makhluk hidup maupun yang tak hidup, tinggal harus dijaga dan dilindungi seluruhnya.
Para pemikir sains dan teknologi harus mampu menempatkan posisinya dalam keberpihakannya dalam menyikapi krisis ekologis. Sains dan teknologi telah memainkan peran yang semakin penting dalam memahami dan mengatasi krisis ekologi. Salah satu kontribusi utama sains dan teknologi dalam mengatasi krisis ekologi adalah dalam memahami akar permasalahan yang ada. Melalui penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi, para ilmuwan dapat mengumpulkan data yang diperlukan untuk memahami perubahan lingkungan yang sedang terjadi.
Peran dan tanggung jawab sains dan teknologi yang besar inilah yang nantinya memang dibutuhkan saat ini. Sains dan teknologi memiliki potensi besar untuk membantu mengatasi krisis ekologi yang sedang kita hadapi. Melalui penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi, kita dapat memahami akar permasalahan yang ada dan menciptakan solusi-solusi yang berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara ilmuwan, teknokrat, pemerintah, dan masyarakat, maka akan dapat tercipta dunia yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Muh Amar Masyhudul Haq
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2021
Sekaligus Litbang SDM PK identitas Unhas 2024