Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr Suriadi Mappangara MHum hadir sebagai pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Cerita dalam Hidangan: Tradisi Lisan Kuliner sebagai Potensi Wisata Gastronomi Berkelanjutan”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang berlangsung secara daring via Zoom Meeting, Selasa (25/11).
Dalam pemaparannya berjudul “Gastronomi dan Memori Kuliner: Perempuan dalam Sejarah Lokal Bugis-Makassar”, Suriadi menegaskan makanan tidak hanya berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan fisik, tetapi juga pembawa ingatan dan penanda identitas budaya. “Makanan dapat menggambarkan siapa kita,” ujarnya.
Ia kemudian menjelaskan memahami kuliner Bugis dan Makassar memerlukan pengetahuan tentang perbedaan identitas keduanya. Seringkali disatukan dalam wacana populer, padahal masing-masing memiliki latar sejarah dan perkembangan sosial-politik yang tidak sama. “Bugis adalah Bugis dan Makassar adalah Makassar, kita tidak bisa serta-merta menyamakan keduanya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Suriadi memaparkan terkait posisi perempuan dalam menjaga ingatan kuliner. Menurutnya, perempuan berperan sebagai pewaris sekaligus perawat tradisi gastronomi, mulai dari dapur rumah hingga ritual-ritual adat. Proses memasak, penyajian hidangan, hingga ragam kue dalam bosara, semuanya menyimpan nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun melalui peran perempuan.
Ia menjelaskan memori kuliner Bugis-Makassar terbentuk dari interaksi panjang dengan berbagai peradaban. Perpaduan itu kemudian menetap dalam bentuk rasa, teknik memasak, serta penyajian makanan yang hingga kini masih dipertahankan. Dalam seluruh rangkaian proses itulah perempuan menjadi penjaga kesinambungan tradisi, memastikan memori melalui makanan tetap hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Fitriani Andini
