Semakin dekatnya pelaksaanan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, suara agar dosen yang notabene Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk tidak ikut berpolitik. Dengan salih, netralitas kampus harus tetap dijaga. Namun ada pula yag beranggapan bahwa hak untuk memilih dan memihak adalah hak semua warga negara, termasuk dosen.
Berikut rangkuman sejumlah pendapat yang dikumpulkan Identitas:
“Di Satu Sisi PNS Dilarang Berpolitik Tetapi Boleh Mencoblos.”
Prof. Deddy T.Tikson, Ph.D, Dosen Administrasi Publik Strata 3
Semua ASN/PNS dilarang berpolitik sesuai dengan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan kemendagri, peraturan menteri, artinya biar profesor biar bukan. Masalah kedekatan secara pribadi itu kan tidak masalah. Sebelumnya kita harus mengetahui apa itu kegiatan politik, mencoblos itu termasuk kegiatan politik, namun kenyataannya PNS juga boleh mencoblos.
Disitulah kekeliruan perundang-undangan, di satu sisi PNS dilarang berpolitik tetapi boleh mencoblos,seharusnya tidak boleh mencoblos karena PNS harus netral. Hal ini menjadikan ketidakjelasan antara kegiatan politik dan kegiatan non-politik, sehingga ini sulit dibedakan.
“Hak Memilih Harus Digunakan Sesuai Koridornya.”
Endang Sari, Dosen Ilmu Politik Fisip Unhas
Setiap orang memiliki hak untuk dipilih dan memilih di Negara ini dan itu dijamin oleh konstitusi. Dosen pun adalah warga negara yang memiliki hak tersebut. Tapi hak itu harus digunakan sesuai koridornya artinya hak tersebut adalah hak privat dari dosen yang bersangkutan, tapi tidak boleh mengganggu netralitas dari institusi kampus. Kampus tidak boleh dijadikan ruang untuk melakukan mobilisasi massa dan kampanye untuk memenangkan kandidat tertentu.
Peluang dosen Unhas terlibat politik praktis menurut saya sangat mungkin terjadi. Apalagi ada beberapa kandidat yang akan bertarung dalam pilgub maupun pilkada yang memiliki keterikatan dengan Unhas, baik sebagai Alumni, ketua Ika Fakultas tertentu, atau bahkan Dosen di lingkup Unhas sendiri.
“Kampus Harusnya Semata-mata Berpihak Pada Kemanusiaan, Etika Moral.”
Wiwin Suwandi, Mahasiswa S2 Fakultas Hukum
Saya kira sulit memang menghilangkan hubungan politik dengan institusi pendidikan karena person-person dalam hal ini akademik, dosen. Di kampus itu memang bersentuhan juga dengan karakter-karakter politik dalam konteks misalnya mereka dipanggil jadi narasumber acara-acara politik, acara partai, acara pilkada. Bersentuhan secara langsung, terlepas mereka mendukung atau tidak mendukung.
Seorang calon kepala daerah misalnya, memberikan bantuan dana ke kampus itu. Nah, kemudian hal-hal seperti itu kan yang kemudian tantangan berat sekaligus besar bagi kampus untuk bagaimana menjaga indenpendensi dan keberpihakannya. Kampus itu dianggap sebagai eksekusi yang netral. Dia hanya berpihak semata-mata pada kemanusiaan, dia berpihak semata-mata pada kebenaran, menjunjung tinggi etika, moral dan lain sebagainya. Kampus kemudian tidak boleh menumbuhkan politik partisan.
Kampus dalam hal ini sebagai lembaga independen, dosen-dosen sebagai pegawai kan dilarang berpolitik, itu untuk kemudian kampus negeri dilarang berpolitik, dilarang terang-terangan mendukung pasangan calon tertentu, itu larangan ada undang-undangnya dan peraturan pemerintahan tentang disiplin pegawai negeri. Dalam prakteknya ada juga yang misalnya melanggar itu bahkan secara terang-terangan. Itu yang kemudian saya jelaskan tadi adalah terkikisnya nilai-nilai independen non politik praktisan itu di kalangan sivitas akademika kampus.
“Menjadikan Calonnya Menang dan Membawa Kepentingan Rakyat, Itu Bisaa Ditolerir.”
Fihcriady Hastira, Ketua Himpunan Ilmu Politik Fisip Unhas
Ada aturan mengenai larangan PNS berpolitik praktis. Tetapi kita memiliki hak kebebasan yang harus dijunjung tinggi juga. Untuk saya pribadi, kita tidak harus dikekang oleh aturan-aturan itu dan tidak perlu dibatasi kebebasan berpendapat, terutama untuk masyarakat Polri, TNI dan PNS. Jadi untuk saya sendiri, selama itu untuk kebaikan masyarakat itu tidak apa-apa.
Kalau dosen yang melakukan politik praktis sebenarnya kami punya dua perspektif. Hal ini untuk keuntungan bangsa atau mengambil keuntungan di dalam politik itu sendiri. Kalau untuk mengambil keuntungan, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah suatu kebaikan yang harus dipertahankan.Tetapi bagaimana menjadikan calonnya yang menang di pemilihan kemudian membawa kepentingan-kepentingan rakyat, itu bisa ditolerir.
“Butuh Pengawasan dan Teguran Langsung.”
Anugerah Edys, Mahasiswa Departemen IlmuHukum Unhas
Saya kontra. Kenapa? Karena hal itu bertentangan dengan UU ASN. Di mana di dalamnya disebutkan bahwa seluruh ASN dilarang untuk turun dan secara langsung maupun tidak langsung mengikuti kegiatan politik . Baik itu sekedar kampanye atau langsung sebagai tim sukses. Menurut saya itu adalah pelanggaran kode etik dan tidak sepantasnya dilakukan. Jadi, memang butuh pengawasan dan teguran langsung dari atasan. Seperti dekan, rektor maupun Majelis Wali Amanat (MWA) yang bersifat struktural. (*)
Reporter: Sri Hadriana (Koordinator), Wandi Janwar, Khintan Jelita, Rezky Ida