Peran penyiaran sangat penting di negeri ini. Penyiaran menjadi media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan fungsi kontrol, serta perekat sosial sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002.
Namun belakangan ini, isu terkait Revisi Undang-Undang (RUU) penyiaran menjadi sorotan publik. Draf RUU tersebut mengundang kontroversi di kalangan pers. Beberapa pasal diduga bertolak belakang dengan kebebasan pers, terlebih lagi pada Pasal 50B Ayat (2) Huruf c terkait larangan penayangan produk jurnalis investigasi.
Lantas, bagaimana pakar melihat hal ini? Simak wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Jum Nabillah, bersama Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan 2014-2017, sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi Unhas, Dr Alem Febri Sonni SSos MSi, Selasa (28/05).
Bagaimana tanggapan Anda terkait draf RUU Penyiaran yang beredar?
Jadi ini adalah revisi Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 yang kemudian sudah diajukan revisinya sudah hampir 10 tahun, mengingat perubahan yang sangat besar dalam industri penyiaran Indonesia. Tapi masyarakat baru aware di draf baru-baru ini. Ternyata setelah diinventarisasi secara masalah, banyak hal yang kemudian “ternodai”. Salah satunya adalah aktivitas pers, khususnya di Pasal 50B Ayat (2) Huruf c tentang reportase investigasi.
Sebetulnya yang menjadi pertanyaan besar adalah usulan draf tersebut berasal dari mana? Siapa yang inisiasi? Ini yang masih perlu kita ketahui. Kalau kita hubungkan pada regulasi tentang kebebasan berpendapat sebagai dasar dari undang-undang dasar, ini memunculkan pertentangan apalagi dengan beberapa aktivitas pers Indonesia dalam mengelola proses investigasi.
Dalam jurnalistik sendiri, investigasi menjadi marwah dari sebuah liputan. Karena dalam tingkat pengetahuan seorang jurnalis, mereka harus mampu melakukan reportase investigasi. Dia harus bisa searching, harus bisa meneliti satu kasus hingga ke akar-akarnya yang kemudian diungkap kepada publik. Hal ini bergejolak ketika teman-teman pers mengaitkan revisi RUU Penyiaran itu dengan pengekangan kebebasan berpendapat. Ketakutannya di situ. Tapi saya, sebagai akademisi, tidak melihat ada penekanan di situ.
Apa yang kemudian menyebabkan RUU ini belum disahkan sejauh ini?
Karena undang-undang ini tidak pernah mendapatkan perhatian besar masyarakat, sementara kontestasi politik membutuhkan respon masyarakat untuk kepentingan popularitas, kepentingan keterpilihan, dan sebagainya.
Selain mengundang kontroversi, apa yang kiranya menjadi hal positif di draf RUU ini dari sudut pandang Anda?
Jadi kalau saya melihat semangatnya sih positif, tetapi penggunaan diksi dalam RUU-nya yang mungkin agak keliru. Kalau kita membaca draf undang-undang ini secara utuh, sebetulnya banyak sekali perubahan yang besar. Negara melalui KPI sebetulnya punya kewenangan untuk melakukan kontrol. Bukan hanya di ranah-ranah penyiaran konvensional, tapi masuk kepada ranah-ranah media digital sehingga semangat itu sebetulnya yang perlu dielaborasi dalam melakukan tafsir.
Apa yang perlu dipertimbangkan kembali dalam draf RUU ini?
Ya sesungguhnya harus menggunakan diksi yang baik. Saya tahu, karena kalau kita hanya bicara pasal 50B memang arahnya tafsirnya pasti “bahaya”. Negara ingin mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan penyampaian informasi.
Bagaimana jika RUU ini disahkan?
Sepertinya akan sangat sulit untuk sampai ke sana. Saya sampai sekarang masih berpikir bahwa rancangan undang-undang ini tidak akan disahkan dalam periode sidang DPR kali ini. Waktunya tinggal sebulan DPR bekerja untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang tertinggal dari periode mereka.
Kalau dalam sebulan ini mereka tidak mampu melakukan negosiasi politik, maka undang-undang ini akan menjadi ambyar lagi. Kemudian akan dilanjutkan oleh DPR selanjutnya. Di situ saya yakin warnanya, semangatnya, kepentingan politiknya sudah berubah lagi.
Bagaimana pers maupun lembaga-lembaga terkait lainnya menyikapi RUU ini?
Sebagai manusia yang bekerja dengan informasi, teman-teman jurnalis, teman-teman kreatif, itu tetap harus menyuarakan hal ini. Ini perlu dilakukan agar kepentingan kita bisa terbentengi, terkontrol dengan baik, dan negara juga tidak memiliki power boost untuk bisa menekan kita dalam memberikan informasi. Walaupun sesungguhnya dibalik semua itu pasti akan ada konsekuensi. Harusnya kita tetap membuat daftar inventarisasi masalah dari rancangan undang-undang ini.
Data diri narasumber:
Nama: Dr Alem Febri Sonni, SSos MSi
Tanggal Lahir: Padang, 23 Februari 1974
Riwayat Pendidikan:
Sarjana Ilmu Koomunikasi, Universitas Hasanuddin – 2001
Magister Manajemen Komunikasi, Universitas Sebelas Maret – 2007
Doktor Antropologi, Universitas Hasanuddin – 2018