Fingerprint yang diterapkan oleh dua fakultas di Unhas seperti FEB dan FK, diharapkan bisa mereduksi manipulasi data absen. Akan tetapi, dalam penggunaannya selama dua tahun terakhir masih terkendala oleh sistem dan absen manual pun masih dijalankan.
Waktu hampir menunjukkan pukul 07.30 Wita, Andi Yaumil bersama mahasiswa Departemen Manajemen lainnya menuju ruang kelas kuliah. Di depan pintu, mereka berhenti sejenak untuk check in absen lewat alat fingerprint yang tertempel. Namun, Ia mengaku hanya menggunakan alat itu selama dua semester.
Mahasiswa angkatan 2016 ini, tidak lagi menggunakan mesin fingerprint untuk mengisi kehadirannya dalam proses perkuliahan sejak awal 2018, sebab ia merasa tidak efisien. Yui, sapaan akrabnya, mengatakan, sering mendengar rumor yang tersebar, mesin itu tidak benar-benar merekam absensi mahasiswa. Bahkan, mesin fingerprint yang terpasang dalam keadaan mati. “Itu alatnya masih tertempel ji di kelas, tapi ndak dinyalakan mi, kurang tau juga siapa yang off-kan,” ujar Andi (5/11).
Senada dengan Yui, Alvin Aulia Havas, Mahasiswa Internasional Departemen Akuntansi angkatan 2016, mengalami hal yang sama. Alvin menyadari, data absen sidik jari yang diterapkan sudah dimulai ketika ia berada di semester dua hingga semester tiga. Saat itu pula, alat itu tidak benar-benar digunakan untuk merekam kehadirannya selama kuliah, melainkan hanya data absen manual digunakan. Alvin bahkan membandingkan efektivitas penggunaan absen fingerprint dan manual. “Saya kan ingat absen saya sendiri, pas saya lihat presentasi kehadiran di KRS, hasilnya sama dengan yang di absen manual.” jelas Alvin (8/11).
Demi mencegah kecurangan absensi mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas memasang mesin canggih absensi via sidik jari yang disebut dengan fingerprint. Ada 16 buah yang terdapat di kelas regular dan tiga buah yang dipasang di kelas Internasional. Bekerja sama dengan perusahaan CV Semoga Jaya Perkasa, pemasangan mesin canggih ini mulai diujicobakan pada mahasiswa baru angkatan 2016/2017, Agustus 2016 lalu. Faktanya, setelah masa uji coba, penggunaan fingerprint berhenti di tempat, para mahasiswa kembali menggunakan absen manual yang dirasa lebih efisien.
Menanggapi hal ini, Staf Teknologi dan Informasi FEB, Ridwan, mengatakan hal itu terjadi dikarenakan sistemnya belum tersambung ke server, alhasil tidak ada data yang masuk. Masalah lain, pemasukan data sidik jari mahasiswa mandek, hanya sampai mahasiswa angkatan 2016 lalu.
“Kalau mahasiswa baru kemarin sudah didata, tapi untuk mahasiswa yang lama belum, sampai saat ini masih ditunggu perintah untuk mendata dari pemimpin,” kata Ridwan (7/11).
Ada rumor tak sedap beredar, perintah pendataan belum dikeluarkan sebab pihak mitra, CV Semoga Jaya Perkasa belum melunasi sejumlah dana pada programmer. Terdengar kabar, pihak fakultas yang belum menyelesaikan pembayaran. Reporter identitas mengonfirmasi kabar itu kepada Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sumber Daya FEB, Dr. Hj Kartini SE MSi Ak CA. Kartini mengatakan kabar itu tidak benar. “Saya menangani bagian keuangan, tidak ada kegiatan yang sudah selesai pengadaannya atau pengerjaannya yang belum kami selesaikan dananya,” jelasnya.
Ia menambahkan, seharusnya pemanfaatan fingerprint ini lebih ditingkatkan lagi sebab 27 November 2018, FEB akan dikunjungi oleh tim asesor untuk akreditasi AUN-QA agar mendapatkan akreditasi internasional ABEST2.
Selain Kartini, Kepala Sub Bagian Perlengkapan, Arifuddin, memberikan pernyataan terkait tertundanya pendataan sidik jari mahasiswa. “Ketika orang-orang dari perusahaan rekan datang, tidak ada mahasiswa yang bisa hadir,” jawab Arifuddin.
Lain halnya di Fakultas Kedokteran, sudah mulai mendata mahasiswanya mulai angkatan 2015, 2016, dan 2017. Termasuk angkatan 2018 yang baru merasakan kehidupan kampus dua bulan. Salah satunya, Nur Fatimah Azzahra Latif, mahasiswa Fakultas Kedokteran, mengaku baru-baru ini sudah melaksanakan pendataan sidik jari. “Sekitar tiga pekan lalu, ada pengumuman kalau disuruh ke lantai tiga, untuk pendataan,” jelas Fatimah (8/11).
Berbeda dengan Fatimah, Pinaufal Ahmad, Mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2016, menurutnya mesin fingerprint yang tersedia tidak bisa digunakan seefisien mungkin. Bagi Pinaufal, ada dua permasalahan presensi via sidik jari. Pertama, kurangnya jumlah mesin fingerprint, hanya ada dua buah yang aktif dalam satu kelas kapasitas seratus orang. Kedua, mesin fingerprint yang tidak begitu responsif. “Kadang harus beberapa kali coba, dan masih gagal, mungkin karena jari-jari ta ini berminyak atau ada debu-debu,” ujar Pinaufal (8/11).
Pinaufal merasa tak masalah dengan adanya absen manual, sebab kedua perekam absensi baik mesin fingerprint maupun manual tetap terhitung meski hanya salah satu dari keduanya yang digunakan.
Pada tahun 2017, Kepala Sub Bagian Perlengkapan FK, H Baharuddin S Sos, menyebutkan, ada 90 buah mesin fingerprint yang disediakan. Kini, hanya 50 buah mesin fingerprint yang terpasang baik di ruang kelas maupun laboraturium, sisanya ada yang rusak dan dicadangkan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tertundanya penggunaan total mesin fingerprint. Naik turunnya daya listrik di Unhas, penggunaan sistem blog yang akan bermasalah bila terjadi perubahan jadwal tiba-tiba sehingga perlu pengaturan ulang, dan mahasiswa yang suka melepas kabel mesin fingerprint. Itulah alasan absen manual menjadi data utama.
Mengenai pelaksanaannya, Staf Teknologi dan Informasi fingerprint FK, Ardiansyah menegaskan, hingga saat ini penggunaan absen manual hanya sebagai data pembanding juga kebijakan strukturalisasi dari atasan. “Kita juga belum bisa sepenuhnya, jangan sampai kita fokuskan pada fingerprint tenyata bermasalah,” katanya, Kamis (8/10).
Lebih lanjut, Asrir berharap agar semester depan absensi mahasiswa kedokteran hanya memakai mesin fingerprint. “Harapan kami sih sebenarnya pejabat-pejabat atau teknisi lebih support fingerprint. Dan satu kesepakatanlah kalau memang mau fingerprint.” tutup Asrir.
Reporter : Madeline Yudith/Arisal