“Tiap orang memiliki ritualnya sendiri dalam mengarungi arus dukanya. Aku memiliki ritual sendiri, yaitu mencuci piring.” (Halaman 32).
Begitulah kata Andreas dalam karyanya berjudul Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Buku self improvement ini menawarkan kisah yang sederhana namun membekas, mengantarkan pembacanya menyelami lautan duka yang tergambarkan melalui cuci piring sebagai metafora kehidupan. Buku ini akan menemanimu mengarungi perjalanan dan perjuangan sosok yang pernah kehilangan orang yang dicintainya.
Narasi dibuka dengan suasana hati yang sendu dan penuh kesedihan. Andreas, seorang psikiater ternama, terpaku di depan wastafel dapurnya yang dikelilingi tumpukan piring kotor. Piring-piring itu bukan sekadar alat makan, tetapi juga simbol beban duka yang ia pikul setelah kehilangan putra semata wayangnya, Hiro.
Dengan gerakan yang lamban dan tanpa semangat, Andreas mulai membersihkan piring-piring kotor itu. Ia merasakan air hangat mengalir di tangannya, membilas sisa-sisa makanan dan kotoran. Perlahan tapi pasti, Andreas mulai merasakan ketenangan. Proses sederhana ini membantunya untuk fokus pada saat ini dan melupakan kesedihannya sejenak.
Seiring waktu, Andreas menyadari bahwa mencuci piring bukan hanya tentang membersihkan alat makan. Ini adalah metafora untuk proses penyembuhan dirinya. Setiap piring yang dicucinya melambangkan satu langkah dalam proses dukanya. Ia belajar untuk melepaskan rasa sakitnya, menerima kenyataan pahit, dan menemukan kembali makna hidup.
Novel ini memberikan gambaran yang realistis dan menyentuh tentang duka seorang ayah yang kehilangan anaknya. Andreas tidak digambarkan sebagai pahlawan yang sempurna, tetapi sebagai manusia biasa yang tak berdaya dan penuh kekurangan.
Berduka menjadi salah satu momen terberat yang mungkin akan dialami oleh setiap insan, cepat atau lambat. Dalam mengatasinya, terkadang kita tidak selalu bisa menempuh jalan yang mulus. Ibarat dua sisi koin, semakin besar kenangan dan kebahagiaan yang tertoreh saat bersama seseorang, maka semakin besar pula duka yang akan ditinggalkan ketika orang tersebut harus pergi.
Kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, dan pertanyaan eksistensial mewarnai setiap halaman. Andreas tak segan menunjukkan sisi kesakitan yang amat dalam, menciptakan koneksi emosional yang kuat dengan pembacanya. Duka ini bagaikan tumpukan piring kotor yang tak boleh didiamkan. Semakin lama dibiarkan, semakin menumpuk dan sulit dibereskan.
Sama halnya dengan proses mencuci piring, berduka juga membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Kita perlu membuang, membersihkan, membilas, dan mengeringkan beban-beban yang menganggu dan mengaburkan pikiran. Alih-alih menolak semua perasaan yang muncul, kita perlu melewatinya dengan mengerjakan apa yang perlu dilakukan saat itu.
Nah, buku ini menjadi karya yang sangat manusiawi dalam memberikan pencerahan tentang apa yang harus kita lakukan saat kehilangan orang terkasih. Penulis tidak memberikan tips atau trik tertentu, melainkan mengajak kita untuk menjalani proses duka dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.
Tanpa embel-embel psikologis yang rumit, buku ini menawarkan sudut pandang yang jelas tentang bagaimana manusia sebenarnya menghadapi dan merespons duka. Pesan kesederhanaan dalam kegiatan sehari-hari seperti mencuci piring juga menjadi landasan yang kuat bagi pembaca untuk merenungkan arti pentingnya proses dalam mengatasi kesedihan.
Buku ini cocok untuk kamu yang sedang malas berpikir dan rasa tidak ingin melakukan apapun karena sedang berduka. Buku ini juga dilengkapi dengan humor-humor gelap yang membuat buku ini semakin menarik untuk dibaca.
Melalui Seorang Pria Yang Melalui Duka Dengan Mencuci Piring ini, Andreas menunjukkan bahwa duka adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kita harus siap menghadapinya. Dengan gaya narasi yang mengalir dan detail yang menyentuh, buku ini bukan hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi dan memberikan panduan bagi mereka yang sedang berduka.
Ismail Basri