Bencana alam marak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia belakangan ini. Mengawali bulan Mei 2024, banjir menerjang beberapa daerah di Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, dan Enrekang. Bencana ini menelan sejumlah korban jiwa dan kerugian harta benda.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah bencana alam setiap tahun di Indonesia terus meningkat. Sayangnya, peningkatan itu tidak dibarengi dengan edukasi bencana yang baik di masyarakat. Padahal, ini sangat penting untuk mengurangi risiko jika terjadi bencana.
Lalu bagaimana pakar melihat hal itu? Berikut wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Nurul Sapna SL, pada Kamis (09/05), bersama Kepala Pusat Studi Kebencanaan Unhas, Dr Eng Ilham Alimuddin ST MGis, yang juga ikut serta dalam kegiatan tanggap darurat bencana di beberapa daerah di Sulawesi Selatan belakangan ini.
Bagaimana kondisi terbaru di lokasi bencana saat ini?
Kondisi sekarang belum kondusif karena masih banyak masyarakat terisolir. Cuaca juga tidak menentu, kadang hujan. Kemudian kondisi jalanan putus dan jembatan hanyut juga terjadi di beberapa desa. Ini khusus di desa-desa yang di pegunungan seperti Desa Latimojong. Adapun nama desa yang terisolir itu Desa Tobaru, dan yang paling parah ada di Timbussu, Kabupaten Luwu.
Bencana ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Luwu, tetapi juga di Kabupaten Enrekang, Sidrap, dan Wajo. Kalau di daerah Luwu, wilayah sebelah Selatan yang paling terdampak, mulai dari Larompong dan Suli. Menurut warga, banjir ini yang terbesar selama 10 tahun terakhir.
Posko bencana induk ada di Belopa, Kabupaten Luwu. Ada 18 personil dari tim Unhas yang berangkat hari Senin lalu yang dilepas oleh Rektor (Prof Jamaluddin Jompa MSc).
Apa penyebab banjir dan longsor yang masif terjadi di beberapa wilayah Sulsel ini?
Curah hujan yang tinggi menjadi penyebab dari banjir. Kita sudah paham bahwa air yang meluncur dari ketinggian (pegunungan) akan mengalir ke sungai. Jika air sungai tersebut meluap akan menggenangi dataran-dataran rendah.
Penyebab lain dari banjir atau longsor adalah perubahan lahan. Dapat dibayangkan bahwa 10 tahun lalu, vegetasi daerah ini adalah hutan lebat. Kemudian dilakukan pembukaan lahan untuk pertambangan atau pekebunan. Hal tersebut tentunya dapat mengurangi daya dukung tanah di daerah itu.
Dampak dari hal itu adalah tanah yang akan jenuh dan akhirnya terjadi longsor. Kemudian kemiringan lereng yang terjal dan dipotong dengan potongan jalan, maka akan semakin berpotensi terjadi longsor.
Apakah bencana ini juga merupakan dampak dari perubahan iklim?
Ya. Bisa kita katakan juga seperti itu. Curah hujan belakangan ini cukup ekstrim. Kalau dulu hampir 10 tahun terakhir tidak ada hujan selebat ini, tetapi karena perubahan iklim maka sekarang ini tentu bisa terjadi.
Bagaimana dampak banjir dan longsor ini terhadap kehidupan masyarakat di lokasi kejadian?
Dampak dari bencana ini bagi masyarakat yaitu rumah mereka terendam dan bukan hanya berupa air, tetapi lumpur juga ikut serta. Di samping itu, dampak lain dari bencana ini adalah anak sekolah yang terpaksa diliburkan karena sekolah dan buku-buku yang ada di dalamnya terendam air dan lumpur, yang tentunya tidak bisa digunakan.
Akibat bencana yang melanda daerah ini ada 13 total korban jiwa. Selain itu, ada sekitar 340-an pengungsi yang menempati posko-posko pengungsi.
Teman-teman yang menjadi relawan yang membawa bantuan dikomandoi oleh BPBD dan pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah nasional melalui BNPB. Jadi semua bahu-membahu untuk membantu masyarakat yang terdampak di daerah ini.
Apakah tanggap bencana kita memang masih kurang memadai?
Tanggap darurat itu memang membutuhkan waktu untuk memastikan semua korban bisa di evakuasi. Setelah itu mereka baru diungsikan dari bahaya. Dapat dikatakan bahwa para pemangku kepentingan di kebencanan sudah mengoptimalkan upaya ini.
Tetapi kita juga masih kurang maksimal dalam upaya pencegahan bencana. Masih kurang mitigasi pra-bencana dan minimnya penyadaran kepada masyarakat yang tinggal di daerah sungai agar selalu waspada jika cuaca tidak menentu.
Masyarakat biasanya hanya menerima, jika terjadi bencana ya terjadi. Disamping itu, seharusnya pemerintah sering mengadakan edukasi kesiapsiagaan, apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana. Tidak hanya mengharapakan bantuan dari para relawan maupun corporate social responsibility (CSR) suatu perusahaan. Masih perlu dilakukan upaya agar pemerintah meyiapkan kajian-kajian terkait kesiapsiagaan bencana.
Mengapa kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana masih kurang?
Karena masih minim dilakukan pelatihan-pelatihan dalam kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, baik itu untuk masyarakat maupun pemerintah. Kemudian edukasi kepada masyarakat juga masih kurang dikarenakan program pemerintah belum tersentuh langsung kepada masyarakat. Jadi, terkadang kajian tersebut tidak tersampaikan dengan baik ke masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan agar kesadaran masyarakat dapat ditingkatkan dalam kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana?
Kita harus memberikan materi tentang kebencanaan dan pra-bencana ke dalam kurikulum sekolah. Sebaiknya pemerintah melakukan apel kesiapsiagaan atau melakukan siaga bencana dalam bentuk simulasi paling tidak sekali dalam setahun. Hal ini sudah dilakukan tetapi masih kurang maksimal dalam melibatkan seluruh unsur pemerintahan maupun masyarakat.
Di perguruan tinggi sendiri, diadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik kebencanaan misalnya. Hal ini dilakukan agar mereka dapat melakukan sosialisasi. Bahkan jika perlu diadakan simulasi seakan-akan memang terjadi bencana dan apa yang harus di lakukan selama itu. Hal ini baiknya diadakan pada setiap wilayah.
Setiap daerah mempunyai kearifan lokal dalam mengurangi risiko bencana. Bagaimana menggabungkan kearifan lokal ini dengan aksi tanggap bencana masyarakat?
Kearifan lokal ini diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi terkadang budaya ini terputus karena tidak tersampaikan ke generasi berikutnya. Sebenarnya orang terdahulu mempunyai pengalaman ketika menghadapi bencana.
Contohnya mereka membuat rumah kayu yang memiliki kolong. Hal ini mereka lakukan sebagai mitigasi banjir atau gempa bumi. Selanjutnya mereka juga membuat kentongan yang gema suaranya bisa sampai mencapai 700 meter. Hal ini digunakan sebagai tanda peringatan dini jika terjadi bencana. Jadi kearifan lokal ini diharapkan mampu dikombinasikan dengan teknologi saat ini.
Bagaimana peran media dan teknologi dalam meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan Masyarakat dalam menghadapi bencana?
Tentunya media dan teknologi sangat berperan penting pada kebencanaan. Teknologi ini dapat digunakan untuk memprediksi bencana. Sekarang sudah ada teknologi yang dapat mengirimkan sinyal jika akan terjadi banjir. Teknologi tersebut akan menyalakan sirine untuk peringatan kepada masyarakat yang tinggal di hulu Sungai. Selanjutnya sensor yang di tanam pada lereng bukit yang akan menyalakan peringatan jika tanah sudah mulai bergerak.
Jadi banyak sekarang yang diteliti untuk mengembangkan teknologi peringatan dini dan kesiapsiagaan bencana. Sekarang BNPB dan teman-teman di kebencanaan itu fokus mengembangkan teknologi tepat guna pada masyarakat.
Bagaimana harapan Anda agar masyarakat bisa lebih memahami kebencanaan ke depannya?
Saya berharap agar kita yang berada di perguruan tinggi bisa mengupayakan bagaimana masyarakat lebih teredukasi tentang bencana. Hasil-hasil kajian harus bisa sampai ke mereka dalam bentuk distribusi informasi, sehingga anak-anak sekolah dan anak-anak kecil sudah mulai melek bencana sejak awal.
Namun upaya ini tidak bisa dilakukan oleh kita sendiri, tetapi harus ada sinergi dengan masyarakat tentunya. Kita harus membentuk forum-forum di mana semua unsur masyarakat bisa terlibat, sehingga mereka bisa sama-sama bahu membahu ketika bencana terjadi.
Data diri narasumber:
Dr Eng Ilham Alimuddin ST MGis
Riwayat Pendidikan:
Teknik Geologi – Universitas Hasanuddin (1997)
GIS and Remote Sensing – The University Of Queensland (2001)
GIS and Remote Sensing – Chiba University (2013)