Belakangan ini sedang viral di media sosial dan media pemberitaan tentang ekspor pasir laut. Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut. Izin tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Dalam beleid itu, Presiden Jokowi juga mengizinkan pelaku usaha untuk memanfaatkan pasir laut untuk beberapa keperluan, termasuk ekspor.
Peraturan ini menuai kontroversi di masyarakat ada yang setuju ada yang kontra. Banyak yang menolak peraturan ini karena akan merusak lingkungan. Ada Pula yang pro karena didalamnya ada keuntungan ekonomi yang akan didapatkan. akan tetapi, hal ini perlu dipertimbangkan kembali apakah dalih keuntungan ekonomi lebih penting daripada keberlanjutan lingkungan.
Sebelumnya perizinan terhadap ekspor pasir laut telah ditutup oleh Presiden Megawati Soekarno Putri sejak tahun 2003. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno pada 28 Februari 2003. Alasan pelarangan ekspor pasir laut ini untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Dalam keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan di atas disebutkan dalam poin ‘a’ disebutkan bahwa dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan singapura, maka dianggap perlu menghentikan sementara ekspor pasir laut guna penataan kembali pengusahaan dan ekspor pasir laut.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah kembali mengeluarkan larangan ekspor pasir karena maraknya penambangan pasir ilegal. Larangan tersebut tertuang dalam peraturan Menperindag nomor: 02/M-DAG/PER/1/2007. Bukan hanya tentang larangan ekspor pasir tetapi juga tanah dan top soil (termasuk tanah pucuk dan humus). Aturan ini ditetapkan pada 22 Januari 2007 oleh Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya, sekarang tidak berlaku lagi akibat munculnya aturan baru yang diterbitkan oleh pemerintah tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat, apakah yang menjadi motif sehingga aturan ini dikeluarkan. Mungkinkah ini hanya untuk kepentingan jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan kedepannya.
Jika ditinjau dari aspek lingkungan, peraturan ini tidak pro terhadap keberlanjutan lingkungan. Ada berbagai dampak lingkungan yang akan timbul jika kegiatan ini tetap berlangsung. Sebagaimana dijelaskan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri bahwa hal ini akan menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam.
Selain itu, jika hal ini terus dilakukan maka akan merusak ekosistem laut. Akan ada banyak biota laut seperti terumbu karang, ikan, dan sebagainya akan mengalami kerusakan dan mengganggu keberlangsungan ekosistem laut. Tentunya juga banyak kerugian yang akan didapatkan.
Selain dampak terhadap ekosistem laut, dampak lain juga akan didapatkan oleh nelayan yang mencari ikan di sekitar pertambangan pasir tersebut. Sebagai salah satu contoh yang terjadi di Sulawesi Selatan yakni dalam pembangunan reklamasi pulau Lae-lae yang menyebabkan kerugian terhadap nelayan karena wilayah penangkapan ikan di sekitar wilayah pengambilan pasir terganggu. Hal tersebut juga perlu dipikirkan karena ini juga terkait ekonomi masyarakat khususnya nelayan.
Jika alasan keluarnya peraturan ini adalah sedimentasi laut, lalu kenapa harus mengeruk pasir laut untuk mengendalikan sedimentasinya? Hal ini sebenarnya juga bisa menjadi opsi akan tetapi selama ini sedimentasi yang terjadi di laut dampaknya belum terlalu dirasakan. Kenaikan muka air laut saat ini bukan karena hasil sedimentasi melainkan pemanasan global yang mencairkan es di kutub.
Untuk mencegah sedimentasi pada dasarnya bukan dari hasil sedimentasi tetapi dicegah sebelum sampai ke laut yakni di daerah hulu. Memang jika sedimentasi banyak terjadi di laut ini juga berasal dari hulu sungai. Saat ini banyak kerusakan yang terjadi di bagian hulu seperti alih fungsi lahan dari tadinya sebagai hutan berubah menjadi konsesi lahan pertambangan dan pemukiman. hal ini banyak menimbulkan aliran sedimentasi ke hilir. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa untuk mencegah sedimentasi bukan dari hasil sedimentasinya, akan tetapi sebelum sampai di hilir atau di laut.
Memang peraturan ini akan menimbulkan keuntungan ekonomi jika pasirnya di ekspor ke luar negeri. Akan tetapi perlu juga dipertimbangkan dari aspek lingkungan dan sosial. Dari sisi sosial hal ini akan menyebabkan konflik di masyarakat dengan perusahaan pemilik tambang pasir karena akan merugikan bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan. Kemudian dari sisi kesehatan, bahwa pasir laut diduga bisa berdampak bagi kesehatan akibat racun yang terkandung dari bawaan sedimentasi tersebut.
Seharusnya pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Banyak hal yang mesti jadi pertimbangan termasuk di dalamnya dari aspek lingkungan, sosial, dan kesehatan. Jangan hanya melihat dari segi keuntungan ekonomi dengan mengesampingkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Biaya besar akan dikeluarkan untuk memperbaiki kembali lingkungan yang telah rusak.
Penulis: Engki Fatiawan
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.
Angkatan 2019.