Lingkungan kampus merupakan tempat yang kaya akan keberagaman. Setiap individu dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda beraktivitas dalam satu atap yang sama dan memiliki hak merasakan pengalaman pendidikan yang sama.
Namun, interaksi dengan teman difabel masih sering menjadi tantangan bagi banyak mahasiswa. Hal ini bukan karena niat buruk, melainkan kurangnya pemahaman tentang etika yang tepat saat berinteraksi dengan mereka.
Penting bagi kita untuk memahami bagaimana berinteraksi dengan teman difabel dengan baik dan benar. Oleh karena itu identitas akan membahas panduan tentang etika berinteraksi dengan teman difabel, berdasarkan wawancara dengan Dr Ishak Salim SIP MA, Ketua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin (Pusdis Unhas).
1. Memahami berbagai jenis disabilitas
Langkah awal dalam membangun interaksi yang baik dengan teman difabel adalah memahami bahwa disabilitas itu beragam. Ada yang menyandang disabilitas fisik (Disabilitas Daksa), seperti kesulitan bergerak atau menggunakan kursi roda, ada juga disabilitas sensorik seperti gangguan penglihatan atau pendengaran (Disabilitas Netra), serta disabilitas kognitif/Intelektual,seperti kesulitan belajar dan memahami materi. Setiap jenis disabilitas memiliki kebutuhan dan cara interaksi yang berbeda.
Misalnya, ketika berinteraksi dengan teman yang menggunakan kursi roda, etika yang penting adalah menyejajarkan pandangan mata saat berbicara untuk menciptakan interaksi yang setara. Untuk teman Tuli, jangan memanggil dari belakang dengan suara lantang, melainkan gunakan isyarat seperti menepuk bahu. Penting juga untuk memahami perbedaan antara Tuli total dan Hard of Hearing (menggunakan alat bantu dengar). Sementara itu, saat berinteraksi dengan teman yang memiliki ASD/Autisme, pahami bahwa mereka mungkin memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan emosi dan mungkin menolak kontak mata. Sebaliknya, mulailah dengan percakapan yang lebih ramah.
2. Menghormati otonomi dan kemandirian
Salah satu kesalahan paling umum saat berinteraksi dengan teman difabel adalah asumsi bahwa mereka selalu membutuhkan bantuan. Meskipun niat kita baik, memberi bantuan tanpa bertanya terlebih dahulu dapat dianggap tidak sopan. Prinsip utamanya adalah selalu bertanya sebelum memutuskan untuk membantu. Misalnya, jika teman yang menggunakan kursi roda terlihat kesulitan, langkah terbaik adalah bertanya, “Apakah kamu membutuhkan bantuan?” alih-alih langsung membantu tanpa izin.
Jika ingin memberikan bantuan secara berkelanjutan, cara terbaik adalah bergabung dengan tim relawan di Pusdis Unhas. Di sana, ada berbagai bentuk dukungan yang bisa diberikan, mulai dari pendampingan mobilitas (antar-jemput), bantuan akademik (menemani belajar dan mengerjakan tugas), hingga fasilitasi komunikasi (menjadi juru bahasa isyarat atau menemani berdiskusi dengan dosen).
3. Menggunakan bahasa yang tepat
Bahasa merupakan aspek penting dalam menciptakan interaksi yang baik. Pada dasarnya, nilai yang perlu dikedepankan bersifat universal dengan mengetahui dan mengakui perbedaan tanpa didasari kebencian, stigma, stereotip, atau labeling negatif. Hindari asumsi bahwa difabel itu tidak mampu, sakit, lemah atau hanya butuh dikasihani.
Alih-alih menggunakan istilah yang merendahkan, gunakan bahasa yang menghargai martabat mereka sebagai individu. Misalnya, gunakan “difabel” atau “mahasiswa dengan disabilitas” daripada “orang cacat”. Selain itu, dalam percakapan fokuslah pada individu, bukan pada disabilitasnya. Berpikirlah setara dan berikan dukungan ketika teman difabel menghadapi hambatan dalam mengakses berbagai fasilitas di kampus.
4. Berkomunikasi dengan jelas dan terbuka
Dalam banyak kasus, teman difabel dapat mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi. Penting untuk memahami dan menyesuaikan cara komunikasi kita. Misalnya, saat berbicara dengan teman yang memiliki gangguan pendengaran, pastikan untuk berbicara dengan jelas dan menghadap wajah teman difabel. Jika perlu, tanyakan apakah mereka memerlukan cara komunikasi alternatif, seperti tulisan atau bahasa isyarat.
Ketika berkomunikasi dengan mahasiswa yang memiliki disabilitas kognitif atau kesulitan belajar, bersabarlah dan sampaikan informasi dengan cara yang lembut dan sederhana. Jika mereka kesulitan memahami suatu materi, tawarkan untuk menjelaskan ulang atau memberikan contoh agar mereka dapat memahaminya dengan baik.
5. Menciptakan ruang inklusif di kelas dan kegiatan kampus
Sebagai mahasiswa, kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ruang kelas dan kegiatan kampus dapat diakses oleh semua orang. Namun, sebelum membuat asumsi tentang apa yang dibutuhkan, diskusikan terlebih dahulu dengan tim Pusdis atau langsung dengan teman difabel. Jangan berpikir bahwa menanyakan langsung itu tidak penting, karena asumsi kita bisa salah dan justru mengabaikan keberadaan dan hak mereka.
Dalam konteks akademik, pastikan bahwa materi kuliah tersedia dalam format yang dapat diakses oleh semua mahasiswa. Saat mengadakan kegiatan kampus, pertimbangkan kebutuhan aksesibilitas untuk berbagai jenis disabilitas dan sediakan alternatif yang ramah difabel. Seperti bahan bacaan bagi teman Tuli dan audiobook bagi teman Buta.
6. Tidak mengasihani atau menganggap mereka lemah
Sebagai mahasiswa, kita memiliki peran penting dalam mengurangi stigma terhadap teman difabel. Mulailah dengan mengenali bahwa disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia yang kompleks. Mengasihani seseorang karena disabilitasnya hanya akan memperkuat stereotip negatif dan memperburuk interaksi. Sebaiknya, perlakukan mereka sebagai teman sejawat yang memiliki potensi dan kemampuan yang sama seperti manusia pada umumnya.
Berpartisipasilah dalam kegiatan bersama, baik akademik maupun non-akademik. Ketika bekerja dalam kelompok atau mengerjakan tugas, libatkan teman difabel secara aktif dan setara. Jadilah contoh bagi mahasiswa lain dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan suportif.
Etika berinteraksi dengan teman difabel di kampus adalah tentang menghargai, mendengarkan, dan memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi setara seperti mahasiswa pada umumnya. Dengan memahami kebutuhan mereka dan terus mengedukasi diri, kita dapat menciptakan lingkungan kampus yang benar-benar inklusif, di mana setiap individu dapat berkembang dan meraih kesuksesan akademik tanpa hambatan. Mari kita semua berperan aktif dalam menciptakan kampus yang lebih adil dan inklusif bagi semua.
Wahyu Alim Syah