Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan Kuliah Umum dengan menghadirkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan, Tri Wibisiono ST MT sebagai pemateri. Kegiatan ini berlangsung di Baruga Prof Baharuddin Lopa SH FH Unhas, Senin (21/10).
Pada kesempatannya, Wibisiono menjelaskan topik mengenai hukum agraria. Ia mengawali pemaparannya dengan mengutip definisi hukum agraria menurut R. Subekti dan Tjitrosudibyo.
“Hukum agraria mencakup hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum administrasi yang mengatur hubungan antara individu dengan tanah, air, dan ruang angkasa di Indonesia,” jelas Wibisiono.
Ia menegaskan bahwa dasar hukum agraria diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang lebih dikenal dengan UUPA. Undang-undang ini menjadi landasan utama dalam pengaturan agraria di Indonesia.
Wibisiono juga menyoroti beberapa faktor yang menjadi penyebab utama sengketa tanah di Indonesia, termasuk administrasi pertanahan yang tidak tertib, ketimpangan kepemilikan tanah, serta campur tangan “mafia tanah” yang sering memanipulasi harga tanah. Ia juga menyebutkan bahwa tumpang tindih peraturan perundangan yang tidak konsisten turut memperburuk situasi ini.
“Masalah administrasi pertanahan yang tidak tertib dan ketimpangan dalam kepemilikan tanah adalah tantangan besar, yang harus dihadapi jika kita ingin menciptakan sistem pertanahan yang lebih adil dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Salah satu inovasi terbaru yang dipaparkan oleh Wibisiono adalah penerapan sertifikat tanah elektronik. Sejak 2021, BPN telah mengimplementasikan lebih dari 1,5 juta sertifikat tanah elektronik di seluruh Indonesia. Menurutnya, sistem ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi praktik korupsi dan mempersempit ruang gerak mafia tanah.
Athaya Najibah Alatas