Realisasi program food estate hingga kini masih menimbulkan polemik terkait dampak buruknya terhadap lingkungan. Terlebih lagi, program ini belum mampu mewujudkan manfaat yang diharapkan. Padahal, program tersebut telah menggunakan anggaran negara yang besar. Berdasarkan laporan nota keuangan tahun anggaran 2024, anggaran ketahanan pangan nasional RABPN 2024 meningkat 7,8 persen.
Food estate atau program lumbung pangan merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan pembukaan lahan pertanian dengan kawasan yang luas. Food estate menjadi salah satu upaya pemerintah yang diklaim dapat meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan sektor pertanian, dan mendorong perekonomian.
Gagalnya realisasi program lumbung pangan terangkum dalam laporan Badan Pusat Statistik di mana impor beras tahun 2023 meningkat 3,06 juta ton. Kondisi ini menempatkan Indonesia berada di posisi ke-5 sebagai negara importir beras terbesar di dunia.
Lalu, bagaimana sebenarnya indikator keberhasilan dalam penerapan food estate di beberapa wilayah Indonesia? Apakah program ini menjadi solusi ataukah justru mejadi masalah baru? Berikut wawancara Reporter PK identitas Unhas, Ismail Basri* bersama dengan Ketua Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Muhammad Alif K Sahide S Hut MSi, Jumat (11/10).
Apa itu Food Estate dan mengapa penting?
Sebenarnya pemerintah kita ini kurang bersabar untuk mengatasi isu pangan. Dia ingin selalu saja ingin mengambil jalan pintas. Dia tahu bahwa memang dalam politik global saat ini pangan memang menjadi penting. Tapi, karena mindset-nya ingin terlalu cepat dan ada jalan pintas, dianggapnya lahan luas itu dan bisa meng-aglomerasi sebuah industri pertanian dan peternakan. Dalam satu hamparan luas itu dikiranya bisa memberikan solusi, itulah konsep yang ditawarkan oleh pemerintah.
Dan ini bukan merupakan program baru pemerintah. Sejak di era Soeharto, sekitar tahun 95 pernah ada program sejuta lahan. Lahan gambut di Kalimantan itu dibuka untuk cetak sawah sebagai keberlangsungan pangan dan program itu gagal total. Niatnya adalah untuk menjaga ketahanan pangan yang dilakukan secara terintegrasi meliputi pertanian, perkebunan, dan mungkin juga peternakan yang dikelola oleh dengan komoditi tertentu. Pembukaan lahan ini bisa saja berupa sawah ditanami padi atau mungkin jagung dan tebu seperti yang ada di Papua sekarang ini. Itulah program food estate yang sejauh ini saya pahami.
Food estate yang sekarang yang ada di beberapa wilayah merupakan replikasi dan dikemas dengan harapan dijalankan secara profesional. Contoh konkritnya adalah lahan gambut di Kalimantan gagal karena ekosistem gambut yang susah ditransformasi. Menurut pemerintah, hal ini dapat diatasi menggunakan teknologi baru agar program tersebut bisa tetap berlangsung.
Menurut Anda, bagaimana gambaran penerapan program foof estate yang akan dipindahkan dari Kalimantan ke Papua?
Hal ini masih bersifat kolonial dengan menganggap pembukaan lahan seperti ini tidak merugikan masyarakat, karena lahan besar seperti ini tidak diduduki oleh masyarakat dan tidak ada pangan lokal yang sebenarnya tumbuh di situ. Hal ini menurut saya merupakan asumsi yang betul-betul salah. Perilaku melabelisasi sebuah lahan tanpa memperhatikan spesifik seperti masyarakat adat, masyarakat lokal yang lebih dulu mendiami wilayah tersebut serta tidak adanya konsultasi publik untuk menyampaikan program ini kepada masyarakat merupakan langkah yang salah.
Hal seperti ini membutuhkan konsultasi publik untuk memastikan tidak adanya konflik sosial seperti adanya beberapa pihak yang memiliki klaim lahan di area baru bernama food estate itu. Secara lingkungan, hal ini mengubah ekosistem dan menghalangi pertumbuhan pangan-pangan lokal yang ada di wilayah tersebut.
Diketahui pada zaman dahulu, Papua bukan sebuah wilayah yang bergantung pada beras. Justru mereka bergantung pada pangan seperti sagu. Lama kelamaan, pangan-pangan lokal seperti ini mulai tertinggal karena industrialisasi produk pangan tertentu.
Pemindahan food estate ke Papua bukan merupakan Langkah yang efektif, apalagi dengan sistem adat yang sangat kompleks di Papua. Di satu sisi, pemerintah sudah menetapkan lahan kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Namun di sisi lainnya semua konsesi sudah terbagi habis, masyarakat Papua yang mengatakan bahwa semua lahan adalah kepemilikan adat.
Coba kita bayangkan, misalnya food estate dengan luas yang hampir 3 juta hektar atau seluas 20 kali lebih kota Jakarta dipindahkan ke Papua. Hal ini menjadi wilayah konflik tenurial baru yang akan mengeksklusi hak-hak masyarakat ketika tidak melewati proses konsultasi dan proses partisipatif. Hal ini sudah dipastikan tidak sah, karena orang Papua sudah dari awal punya klaim terhadap lahan-lahan tersebut.
Menurut Anda, apa saja kelebihan dan kekurangan dalam pembukaan lahan baru di Papua. Apakah akan bernasib sama dengan food estate di Kalimantan?
Proyek-proyek besar seperti ini pasti dibarengi dengan kekuatan-kekuatan besar di baliknya, investor-investor yang besar atau kekuatan oligarki. Dan satu-satunya jalan untuk menyukseskan program-program besar seperti ini adalah dengan kompleksitas masalah.
Jadi, ini bisa sukses tapi penuh dengan kekerasan dan pemaksaan. Hal ini mustahil akan menciptakan ruang-ruang partisipasi masyarakat yang lebih adil kepada mereka. Dan pada akhirnya, proyek ini akan menjadi gagal seperti lahan gambut di Kalimantan.
Food estate seringkali dipandang sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan elit tertentu. Menurut Anda, siapa yang paling diuntungkan dari program ini?
Tentu mereka yang dekat dengan kekuasaan dan pemilik modal. Pemilik modal mereka yang menguasai jejaring informality dan pengambil keputusan yang paling banyak mengambil manfaat. Mulai dari proses pembangunan food estate, mempersiapkan infrastrukturnya, dan lain sebagainya.
Kita harus kembali ke Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara. Pancasila itu menyebut adil dua kali pada sila kedua dan sila kelima. Kata adil ini berarti adil terhadap pangan-pangan lokal seperti sagu (makanan pokok orang Papua). Jangan hanya berpihak pada pangan-pangan yang sifatnya domain komersial, tapi kita juga harus adil secara prosedural.
Jadi, sebelum pemerintah betul-betul memindahkan food estate ini ke Papua, lebih baiknya banyak bertanya ke masyarakat sebelum mengirim ribuan excavator ke Papua, betulkah ini yang kalian (orang Papua) butuhkan? Bagaimana keterlibatan mereka? Siapa sih tanah yang sesungguhnya yang ada di sana? Hal ini betul-betul harus melewati banyak proses-proses partisipatif. Jangan sampai menjadi masalah baru di masa yang akan datang. Saya malah menyarankan agar food estate seperti ini lebih difragmentasi kepada proyek-proyek kecil yang dapat menghidupkan pangan-pangan lokal atau pangan-pangan tradisional.
Bagaimana menurut Anda terkait lobi-lobi politik di balik program ini?
Saya tidak punya akses informasi seperti itu. Di Forest and Society, jurnal yang kami kelola, kami pernah membuat satu special issue terkait dengan masa depan Papua. Kami mengkaji bagaimana industri sawit juga sudah mulai masuk di Papua. Sebentar lagi, wajah Sumatera dan Kalimantan itu akan menjadi wajah di Papua. Sementara Papua sekarang adalah benteng keanekaragaman hayati terdepan.
Bagaimana food estate dapat berkontribusi pada perekonomian daerah?
Sekarang zaman yang sangat desentralisasi, semua ditentukan di Jakarta melalui kekuatan provinsi. Kekuatan kabupaten itu sudah sangat melemah di sektor tambang dan sektor kehutanan dengan dukungan Undang-Undang Cipta Kerja yang banyak melemahkan peran-peran pemerintah lokal. Apalagi kita ketahui Papua punya kekhususan otonomi dan ini perlu dipandang dalam proyek food estate.
Dari tinjauan lingkungan, apa dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan untuk food estate?
Banyak sekali, terutama plantation. Plantation adalah berkurangnya dan menurunnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan banyak bencana-bencana lingkungan yang akan didapati.
Apakah kerusakan lingkungan bisa dihindari dari food estate ini?
Pemerintah mengklaim bahwa setiap program pasti akan diikuti dengan inovasi teknologi. Jadi kerusakan kerusakan bisa diminimalisir. Tapi saya tidak yakin teknologi kita bisa sekuat itu.
Food estate juga syarat akan sengketa lahan dengan masyarakat lokal. Laporan Tempo, mengungkap, konflik tenurial sempat mewarnai pembukaan lahan pada program ini di Merauke. Bagaimana menurut Anda?
Ada sekitar 300 ribu kampung yang berada dalam kawasan hutan. Hal ini menyebabkan konflik agraria dan masih ada ratusan ribu konflik yang belum terselesaikan. konflik tenurial ini akan terus ada. Kita akan mencuci terus masalah ini walaupun sebenarnya ini bukan masalah kita, tapi kita yang diminta untuk menyelesaikan konflik tersebut. Hal ini akan terus berlanjut dan tidak ada satu upaya yang cukup sistematis untuk menyelesaikan konflik ini.
Bagaimana cara mengatasi sengketa dengan masyarakat lokal terkait proyek food estate?
Refleksi dan hentikan dulu sementara, lalu kemudian membangun banyak dialog-dialog publik. Mari belajar dari kegagalan, Kalimantan misalnya di proyek sejuta lahan gambut. Sebaiknya lakukan diskusi publik dulu yang sifatnya bukan force participation atau biasa disebut manipulation tapi betul-betul yang sifatnya mendengarkan aspirasi masyarakat. Hal ini juga dapat dilakukan dengan food estate skala kecil dan berbasis masyarakat adat, bukan skala bombastis.
Bagaimana food estate dapat membantu mengatasi masalah ketahanan pangan di Indonesia. Apa indikator keberhasilannya?
Sebetulnya yang harus kita kejar sekarang justru degrowth permintaan global. Mereka yang harus menurunkan permintaan mereka terhadap produk-produk kita karena kita sebagai supplier kepada negara lain. Ketika komersialisasi yang dipengaruhi oleh tren global permintaan dunia diikuti secara lurus saja tanpa kemudian merefleksikan apa sih sesungguhnya keanekaragaman hayati yang kita miliki.
Apa saja kebijakan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan food estate?
Saya tidak mendukung program-program besar seperti ini. Saya cukup kritis melihat program-program besar seperti ini.
Bagaimana harapan anda terkait program ini?
Saya berpesan, setiap program yang tidak dibangun secara partisipatif pasti akan membawa kerusakan di masa yang akan datang.
Data diri narasumber:
Prof Dr Muhammad Alif K Sahide S Hut MSi
Pemeringkatan World’s Top 2 percent Scientist
Ketua Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
*Penulis: Nurul Fitrah