Saya ingat betul pada pertengahan akhir 2020 banyak perubahan yang terjadi di kota lahir saya, Yogyakarta. Kota yang tak pernah sepi oleh mahasiswa maupun pelancong dari berbagai kota. Hanya, pada awal pandemi kampus-kampus meliburkan mahasiswanya, juga pemerintah melarang kegiatan bepergian ke luar kota. Sejak saat itu, tak ada lagi aktivitas mahasiswa seperti biasa, tak terlihat pula rombongan bus yang hendak berwisata. Pun jalanan kota terasa lebih lenggang.
Namun, ada yang janggal dirasa, sepinya pendatang berdampak langsung pada pekerja informal di Yogyakarta. Berbagai media lokal mewartakan banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Sejak itu, saya menyadari, banyak transformasi yang saya temukan di jalanan, seperti menjamurnya manusia perak, jasa bersih-bersih spion-kaca, penjual tisu, bahkan penjual aqua di lampu merah.
Seperti suatu sore di perempatan Ketandan. Sepulang mencari masker, saat itu langkah saya menjumpai sekumpulan orang yang tergabung dalam paguyuban becak tengah berorasi dan membentangkan spanduk. Sempat saya kira mereka tengah berdemonstrasi. Rupanya bukan, mereka sedang melakukan galang dana, sebab tak lagi mendapat pemasukan dari becaknya.
Pada hari yang lain, tepatnya pada 23 Oktober 2020. Saya mengetahui tanggal itu setelah mengulir foto di galeri handphone. selepas adzan maghrib berkumandang, saya melintas di sekitar XT Square. Saya menjumpai becak terparkir di sudut trotoar. Namun becak yang saya temui ini berbeda dengan sebelumnya.
Sang pemilik becak tengah menawarkan air mineral kepada pengendara motor dan mobil yang menunggu lampu hijau. Karena penasaran, saya ikut memarkir kendaraan saya tak jauh dari becaknya. Lelaki paruh baya itu menyadari keberadaan saya. Ia mengulum senyum dan rundukan kepala.
“Aqua, Mbak?” Tanya lelaki paruh baya yang kemudian saya ketahui bernama Ismani.
Saya mengangguk, lalu mengeluarkan uang Rp. 10.000. Sejenak kemudian, saya membuka obrolan. Tak saya sangka, Ismani sangat terbuka. Sesekali ia terkekeh ketika menceritakan dirinya.
“Saya jualan Aqua, dulu tukang becak di Malioboro. Setelah ada Corona, saya tidak ada penumpang, tak ada langganan, sudah habis semua,” tutur lelaki berumur 68 itu, yang terpaksa menjual mineral saat tak ada pemasukan dari becaknya.
Sejenak Ismani mengedarkan pandangan pada pengendara. Ia menceritakan bahwa sudah 20 tahunan merantau di Yogyakarta sebagai tukang becak. Baru kali ini ia terpaksa berhenti mencari penumpang, dan memutar otak agar becaknya tetap berguna. Akhirnya yang terlintas di pikirannya hanya menjual air botol mineral yang tidak akan basi, dan bisa ia jual kembali di lain hari kalau tidak habis.
“Saat itu ia tidak ada penumpang. Kondisi lockdown, orang-orang tidak banyak yang bepergian,” tutur Ismani menceritakan uangnya yang tersisa Rp 150.000 saja. Dengan jumlah uang yang terbatas, ia harus tetap hidup dan makan, tanpa meminta-minta orang lain.
Sejenak pandangan saya tertuju pada sebuah potongan koran yang menggantung di bawah bangku becaknya. Potongan koran itu menceritakan tentang dirinya. Ada foto dirinya tengah membawa botol di depan becak. Rupanya media lokal pernah mewartakan dirinya.
Kemudian, Ismani menceritakan tentang rutinitasnya tiap hari. Ia mulai bekerja dari pukul 09.00 pagi untuk membeli mineral di toko. Kemudian berangkat ke pangkalan untuk menjual mineral.
“Dari pagi jam 10 sampai kira-kira saya capek itu jam 10.30 malam atau jam 10 habis, setelah itu istirahat. Kalau sudah lelah sebelum jam 10, saya pergi dari sini,” jelas Ismani tentang jam kerjanya.
Perbincangan saya dengan Ismani makin menarik, ketika ia membocorkan penghasilannya saat menjual mineral. Katanya, pendapatannya jauh lebih baik daripada harus menunggu penumpang becak yang tak pasti. Sejenak, ia memandang langit, lalu tersenyum kembali.
“Kalau aqua itu minimal satu dus saya dapat untung Rp15.000 per 1 dus. Kalau satu hari dapat 3 dus, dapat Rp 45.000,” ucapnya sambil menunjuk mineral-mineral yang dibawa becaknya.
Berapapun penghasilan Ismani per hari, ia menggunakannya untuk membayar sewa kos Rp150.000 per bulan, juga untuk makan sehari-hari. Kemudian, Ismani menceritakan istrinya yang bekerja di Bandung sebagai ART. Menurutnya, ia hanya bertemu saat hari lebaran saja. Mereka akan sama-sama pulang ke Temanggung.
“Alhamdulillah saya syukuri daripada saya mbecak, dari pagi sampai malam tidak ada penumpang, hahaha” kata Ismani diselingi tawa.
Dari raut wajah Ismani yang sudah berkeriput, ia tampaknya tak mudah mengeluh. Ia tetap bersyukur masih bisa bekerja dan tidak mengharap belas kasihan dari pihak manapun. Termasuk bantuan dari pemerintah, yang saat itu belum ia dapatkan. Terpenting baginya ialah diberi kesehatan dan kekuatan untuk bekerja. Menjual mineral-mineral yang tak menentu habis atau tidaknya. Berdasar pengakuannya, banyak orang baik di jalanan yang berlangganan membeli mineralnya. Tak jarang langganannya membayar dengan uang lebih.
Belakangan ini, tak ada yang berubah dari sosok Ismani. Ia masih menjajakan air botol mineral di perempatan jalan dengan becak tuanya. Memang, tak semua pengendara akan membeli mineralnya, tapi ia nampak giat menjual mineralnya.
Bagi saya, Ismaini merupakan contoh baik bagi pekerja informal yang terdampak pandemi, namun tidak menggantungkan nasibnya pada pihak manapun. Umumnya di usia senja seseorang akan menghabiskan masa tuanya bersama cucu. Namun, Ismani adalah sosok yang lain. Sosok pekerja informal yang mandiri dan terus berusaha untuk memenuhi hidupnya sendiri meski tanpa jaminan ketenagakerjaan.
Penulis Febi Nurul Safitri mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD), merupakan Juara Pertama Lomba Tulisan Feature Dies Natalis ke-47 PK identitas Unhas 2021,