“Beri aku 1000 orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia,” Ir. Soekarno, Presiden RI yang pertama.
Memasuki bulan Oktober, dengungan pergerakan masa lampau kembali diangkat ke publik. Khalayak mulai membaca satu persatu tragedi di bulan tersebut. Rentetan peristiwanya tersusun dalam sebuah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu.
Kala itu, Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda. Rakyat dalam kondisi terpuruk, mengalami penderitaan yang terus berkesinambungan.
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” demikian sepenggal lirik lagu Kolam Susu karya Koes Plus. Sepertinya belum berlaku pada zaman tersebut. Rakyatnya ibarat ikan yang berenang di kolam yang tenang, namun mati kekeringan. Belanda yang sudah menjajah Bangsa Indonesia sejak abad ke-16 itu benar-benar membuat bangsa ini menderita.
Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah jauh hari memang telah dilakukan. Namun masih sebatas sifat kedaerahaan, termasuk strategi Belanda yang memecah belah atau mengadu domba bangsa ini, sehingga perjuangan para pendahulu tidak mampu sepenuhnya memukul mundur penjajah itu.
Pemuda mulai bangkit di tahun 1918 dengan pembentukan pemuda seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, dan lainnya. Yang sebelumnya bergerak atas dasar kesamaan kultural maupun kedaerahan dipersatukan dengan berdirinya Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang memprakarsai persatuan pemuda diseluruh wilayah Indonesia. Tepatnnya pada kongres pemuda dua 26-28 Oktober 1928 melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Puncaknya, pada 28 Oktober 1928 para organisasi pemuda se-nusantara mengikrarkan Sumpah Pemuda.
‘Berbangsa, Berbahasa dan Bertanah Air Satu’ menjadi seruan yang mempererat persatuan dan kesatuan pemuda kala itu hingga sekarang. Dengan menganggap bahwa kepentingan yang mereka bawa berlandaskan kepentingan Rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Hingga akhirnya, 17 Agustus tahun 1945, Proklamator Soekarno-Hatta memprokalmasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsan Timur No 56, yang pada malam harinya oleh sekelompok pemuda menculik Soekarno-Hatta. Peran pemuda sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan generasi penerus tidak serta merta berakhir tatkala bangsa ini terlepas dari perlawanan bangsa kolonial.
Di tahun 1967, Presiden Soeharto resmi menjadi pemimpin baru Bangsa Indonesia menggantikan Ir. Soekarno. Masalah pelik kemudian menerpanya, selama 30 tahun lamanya ia menjabat, ketidakpercayaan masyarakat membuatnya harus berlapang dada menerima aksi dari orang-orang yang ingin melengserkannya.
Pada tahun 1978, tidak banyak yang mengetahui bahwa keberhasilan perjuangan reformasi Mei 1998 dipelopori atas gerakan pemuda khususnya mahasiswa 20 tahun sebelum itu.
Institut Teknologi Bandung (ITB) misalnya. Di awal menyandang status mahasiswa baru tahun 1975 mereka telah diberikan materi dalam ruang kuliah umum maupun UKM yang menjadi cikal bakal gerakan mereka di tahun 1978.
“Tahun 75 ada 1200 orang (red: mahasiswa baru), dan 1200 orang itu selama satu semester wajib mengikuti minimal dua UKM, satu olahraga, satu kesenian, dan kegiatan yang biasanya jadi cikal bakal gerakan. Karena ada UKM yang sifatnya diskusi atau grup. Selain itu, mahasiswa mengikuti kuliah studium genera,” jelas aktivis 1978, Syafruddin.
Awal gerakan mahasiswa tahun 1978 itu dimulai dengan konsolidasi Dewan Mahasiswa se-Indonesia untuk menyatukan satu visi yang sama. Nama Taslim Arifin mahasiswa Fakultas Ekonomi Unhas tercatat setahun setelah dirinya terpilih menjadi ketua Dema. Ia berangkat menuju ITB untuk menghadiri pertemuan itu.
Mosi tidak percaya mereka gaungkan tiap malamnya melalui siaran radio dan juga pemasangan spanduk sebagai aksi penolakan kepada Soeharto saat itu. Semua penindasan yang diperbuat Soeharto di zamannya dibacakan dalam buku putih.
“Zaman itu kita masih menggunakan siaran radio gelombang pendek dan seluruh Indonesia dengar. Sepanjang malam dibacakan buku putih yang berisi kliping Koran tentang kejelekan-kejelakan Presiden Soeharto,” ungkap Syafruddin.
Saat itu pula pemerintah menganggap bahwa gerakan yang mereka lakukan membahayakan. Hingga pada 1 Februari, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikomandoi oleh Susilo Bambang Yudhoyono mempreteli satu persatu stasiun radio yang mereka gunakan.
“Kita dua kali diserbu, pertama tanggal 1 Februari dan kedua tanggal 9 Februari. Yang pertama itu cuma diserbu saja kemudian kita diusir keluar dari kampus. Mereka menggeledah kampus untuk mengambil pemancar radio dan beberapa benda penting lainnya. Jadi alasan tentara ke kampus itu karena siaran radio,” jelasnya.
‘Sebelum ajal berpantang mati’, pepatah itu dapat menggambarkan bagaimana mahasiswa tadi kembali melakukan gerakan yang sama, tidak peduli intervensi dari pihak manapun. Mereka kemudian membuat ulang stasiun radio yang baru dan lebih banyak, hingga puncaknya pada tangal 9 Februari 1978, TNI kembali menulusuri asal siaran tersebut dan melarang mahasiswa masuk ke kampus.
Meneropong jauh ke depan, pada tahun 2019, mahasiswa dengan jumlah yang mungkin sama banyaknya dengan demonstrasi tahun 1998 tumpah ruah ke jalan. Ribuan mahasiswa ini menuntut Revisi Undang-Undang KPK dan beberapa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang menghadirkan polemik di berbagai kalangan masyarakat.
Hal ini lumrah dilakukan, mengingat perombakan UU KPK disinyalir melemahkan lembaga ‘pemusnah tikus kantor’. Hingga sekarang bentuk tuntutan mahasiswa belum jua mencapai titik terang. Alhasil tuntutan-tuntutan itu masih di gaungkan oleh mahasiswa di berbagai daerah.
Tim Lipsus