Dalam senyum seorang hina
Ada memoar begitu menggelikan
Ia menyusuri lorong-lorong kesendirian
Melahirkan butir-butir penyesalan
Berbisik di sela-sela angin
Jangan khawatir, sementara saja ia berkawan setan
Membenarkan dengan hamba disayang bila bersabar
Lebih berdosalah ia ketika menyerah meniadakan diri
Selagi denyut nadinya terasa
Tak ada salahnya berharap hidup
Menyudikan diri tercabik-cabik
Dalam tontonan yang Maha Esa
Merasa hinalah ia
Bertanya dalam hati dosakah?
Namun, seperti biasa tampak sepi
Tak terjawab, membuat senyum sinis
Lalu melanjutkan dengan pasrah
Bagaikan pion catur yang dimainkan tuannya
Menunggu terguling dan terenggut nyawanya
Maka jadilah!
Penulis : Fika Saputri,
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Angkatan 2018