Harifin Tumpa menjadi salah satu nama laboratorium di Fakultas Hukum. Pemberian nama pada gedung itu tentu bukan asal pasang saja. Nama orang yang digunakan pasti lah sosok yang memiliki banyak pengaruh. Lantas, siapakah sebenarnya Harifin Tumpa?
Dr Harifin Andi Tumpa SH MH atau lebih dikenal dengan sebutan Harifin Tumpa memulai karirnya sejak tahun 1963. Kala itu, lelaki kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1942 ini menjabat sebagai PNS di Pengadilan Tinggi Makassar. Tiga tahun kemudian ia dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Setelah itu, ia dipilih menjadi ketua PN Takalar (1969-1996), ketua PN Mamuju (1972-1974), lalu menjadi ketua di beberapa PN Sulsel (1974-1988), ketua PN Mataram tahun 1994-1996 dan wakil ketua PN Palembang (2000-2001).
Tak hanya itu, suami dari Herawati Sikki tersebut pernah dipromosikan menjadi hakim PN Jakarta Barat tahun 1989-1994. Selanjutnya, ia ditarik untuk berkarir di Mahkamah Agung (MA). Awalnya, ia diberi tugas menjadi direktur perdata MA selama tiga tahun (1997-2000).
Kemudian, ayah dari A Hartati, AJ Cakrawala dan Rizki Ichsanudin ini menjadi hakim agung di Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2004. Setahun menjadi hakim agung, ia langsung dipercaya menjadi ketua muda perdana MA hingga terpilih sebagai wakil ketua MA bidang nonyudisial pada 2008.
Perjalanan karir Harifin tentu tidak mudah. Banyak perjuangan yang telah dilakukan termasuk mendapatkan kepercayaan dari banyak pihak. Hingga akhirnya ia dipercayakan menjadi ketua MA dengan perolehan 36 suara dari 43 total suara pada tanggal 15 Januari 2009.
Dilansir dari gresnews.com, Harifin pernah membuat suatu keputusan fenomenal saat menjabat ketua MA. Saat itu ia menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap terdakwa yang awalnya divonis 18 tahun penjara di Pengadilan Negeri. Hal tersebut ia lakukan dengan alasan bahwa terdakwa merupakan bandar narkoba. Jika dibiarkan, dia bisa merusak masa depan anak bangsa.
Atas segala pengabdiannya, alumni S1 Fakultas Hukum Unhas tahun 1972 itu dianugerahkan doktor kehormatan atau honoris causa dalam bidang Hak Asasi Manusia dan Peradilan. Rektor Unhas masa itu, Prof Dr dr Idrus A Patturusi, menyerahkan penghargaan tersebut di depan Sidang Terbuka Luar Biasa Senat Unhas. Lulusan magister Hukum Unkris Jakarta tahun 2000 itu merupakan orang ketujuh yang memperoleh gelar doktor kehormatan Unhas. Tapi ia adalah alumni Unhas pertama yang menerima gelar tersebut.
Setelah mendapat gelar honoris causa, nama Harifin Tumpa kemudian diabadikan menjadi nama sebuah laboratorium di Fakultas Hukum Unhas. Lalu, di akhir masa jabatannya, kisah peraih gelar doktor Ilmu Hukum di UGM pada 2006 ini, ditulis dalam sebuah buku berjudul “Harifin A Tumpa: Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanae”. Buku yang ditulis Sekretaris MA, Nurhadi itu mengupas tuntas perjalanan hidup Harifin. Dimulai dari masa kecil, masa remaja, jatuh cinta, awal karir hingga mencapai puncak karir sebagai ketua MA.
Tak lupa, Nurhadi juga memunculkan cerita terkait kenakalan masa kecil Harifin. Mulai dari kabur dari pesantren, cerita konyol memakai mukena saat salat tarawih, hingga pengalaman terseret di sungai Delta Walanae. Semua itu terekam dalam buku setebal 551 halaman ini.
Buku yang diterbitkan Dunia Pustaka ini juga menuangkan beberapa pengalaman dan pemikiran Harifin menyangkut penerapan nilai keadilan dalam praktik peradilan. Menurut Harifin, antara hukum dan keadilan tidak bisa dipisahkan karena memang hal ini adalah amanat UUD 1945.
“Sebab, keadilan merupakan rohnya hukum, sementara hukum itu landasannya keadilan, seorang hakim seharunya bisa memadukan hukum dan keadilan secara bersamaan,”jelas Harifin dalam bukunya.
Harifin Pernah Malu Tampil di Depan Umum
Menjadi seorang ketua MA tak serta-merta menjadikan Harifin sosok yang sempurna tanpa ‘cacat’ sedikit pun. Nyatanya, sosok yang telah sering memimpin sidang ini pernah trauma selama satu tahun tampil di depan umum. Kejadian ini bermula ketika Harifin yang kala itu berusia 66 tahun terjatuh saat melantik enam hakim agung tahun 2008 silam.
“Peristiwa itu menimbulkan trauma. Setiap saya tampil di muka umum, selalu ada kekhawatiran jatuh lagi,”ungkap Harifin dalam buku yang ditulis Nurhadi.
Enam hakim yang ia lantik waktu itu ialah Suwardi, Takdir Rahmadi, Syamsul Ma’arif, Andi Ayyub Saleh, Djafni Djamal, dan Mahdi Soroinda Nasution.
Sayangnya, peristiwa itu terjadi bertepatan dengan masa di mana MA sedang menggodok UU pembatasan usia hakim agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun. Oleh sebab itu, sejumlah kritik dari masyarakat mulai bermunculan.
Salah satunya berasal dari Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Juntho. Dilansir dari detik.com, ia mengusulkan agar Harifin pensiun dini.
“Kalau tidak sehat, pensiun dini saja,”katanya.
Namun dengan tekad yang kuat dan dukungan dari keluarganya, Harifin mampu bangkit dan membuktikan kinerjanya hingga akhir.
Santi Kartini