”Seperti air terjun Pindai yang mengalir terus tak habis-habis, saya pun dibuat yakin kalau keindahan alam dapat menimbulkan efek drama pada jiwa kita.”
Secuil kalimat itu ditulis oleh Idham Malik dalam bukunya, Manusia Laut dan Manusia Gunung. Diterbitkan pada Maret 2024, buku ini mengangkat realitas kehidupan orang Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari berbagai aspek.
Seperti judul bukunya, alumni Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas) angkatan 2004 ini merefleksikan tipologi masyarakat Alor yang hidup di pesisir laut dan di gunung.
Dalam kacamatanya, orang yang tinggal di pesisir didominasi oleh orang Islam sedangkan di pegunungan didominasi oleh orang Kristen. Selain itu, diceritakan pula bagaimana sejarah proses masuknya kedua agama tersebut di tanah yang berjuluk Pulau Kenari itu.
Hal ini membuatnya takjub akan harmoni kultural dan pluralitas sosial masyarakat di tanah Alor. Idham juga menggambarkan kehidupan yang sangar arif dan harmonis dalam aspek religius yang tumbuh di masyarakat Alor, bahkan aspek politik pun tak lepas dari substansinya.
Dalam buku ini, penulis kerap mengulas sosok antropolog Amerika, Cora Du Bois, yang pernah melakukan riset etnologis terhadap masyarakat Alor pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pemikiran dan perspektifnya tentang Alor ditulis Idham dengan sangat rinci, mulai dari hasil pengamatannya terhadap kehidupan sosial hingga pandangannya terkait mitologi masyarakat setempat. Bagi mereka yang tertarik pada bidang antropologi dan sejarah, hal ini tentu sangat menarik.
Tak hanya membahas Cora Du Bois, buku yang diterbitkan oleh Penerbit Sulbaltern Inti Media ini juga menghadirkan beragam pandangan dan kisah dari tokoh-tokoh Alor, seperti ulama asal Hulnani-Bampalola, Sultan Najamuddin Oilelang, Pewaris Rumah Makassar (rumah panggung khas Bugis) di Alor Kecil, Umra Dg Lasunu, dan lain-lain.
Banyaknya tokoh yang dimunculkan dalam cerita, menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca, sebab diperlukan ketelitian dan daya ingat agar tidak kehilangan arah dalam mengikuti alurnya.
Kekayaan cerita dan gambar tentang Alor dalam buku ini dirangkum penulis sejak ia tiba di Alor pada 28 Oktober 2022 dan bermukim hingga Mei 2024. Aspek supranatural pun juga digambarkan melalui cerita-cerita mistik yang dialami orang Alor terutama yang bersinggungan dengan leluhur dan laut.
Penulis juga menilik bagaimana orang-orang Alor hidup dengan harmoni antara kesejahteraan kehidupan manusia dan penghormatan terhadap alam dengan kebiasaan-kebiasaan hidup seperti tidak banyak menggunakan alat yang menghasilkan emisi karbon.
Penulis juga menilik bagaimana orang-orang Alor hidup dengan harmoni antara kesehajteraan kehidupan manusia dan penghormatan terhadap alam dengan kebiasaan-kebiasaan hidupnya, salah satunya tidak banyak menggunakan alat yang menghasilkan emisi karbon.
Buku berisi 231 halaman ini ditulis dengan begitu realistis dan detail, mulai dari latar waktu, tempat, hingga suasana kala itu, seperti membawa pembaca masuk melihat langsung realitas yang diceritakan dalam buku itu.
Selain itu, Idham sebagai penulis juga selalu menyelingi sebuah pepatah untuk mengiringi tulisan dalam setiap cerita yang ada di dalam buku ciptaan keenamnya ini.
Buku ini sangat cocok untuk pembaca yang tertarik dalam hal antropologi dan sosio kultural. Pembahasannya yang runut, jelas, dan mengalir, membuka cakrawala dari sisi yang berbeda karena tulisannya melingkupi persperspektif lain dari keluarga, kerabat, dan masyarakat Alor.
Buku ini juga dalam menjadi refleksi dari bagaimana manusia harus melihat perbedaan sebagai penguat identitas kelompok.
Andika Wijaya
