Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional penutur terbanyak. Termasuk di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan sudah menjadi pelajaran wajib sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam perjalanan itu, pelajar pasti sangat akrab dengan kamus terjemahan Inggris-Indonesia. Sosok dibaliknya yang juga namanya tertera dalam tampak depan buku ialah Hassan Shadily.
Lelaki asal Balaikambang Pemekasan ini tak sendirian. Bersama ahli bahasa asal Amerika Serikat Prof Dr John M Echols, Hasan menyusun dua kamus yaitu Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia. Mereka berkenalan saat menempuh pendidikan di Universitas Cornell. Keduanya pun lebih akrab dikenal sebagai leksikografer, yaitu orang yang menekuni cabang ilmu bahasa yang mempelajari teknik penyusunan kamus.
Awalnya kamus berjudul An Indonesian-English Dictionary dan An English-Indonesian Dictionary diterbitkan Cornell University Press pada tahun berbeda yaitu 1961 dan 1976. Keduanya kemudian diterbitkan berjudul bahasa Indonesia oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 1976.
Setelah penerbitan pertama, kamus terjemahan tersebut harus mengalami beberapa kali revisi. Terhitung sudah 30 kali perbaikan hingga tahun 2012. Bahkan pada revisi ketiga tahun 1982, Hasan harus memperbaiki sendiri selepas meninggalnya Prof Echols. Saat itu, hanya dibantu tim Cornell University, ia merombak hampir seluruh isi kamus. Semua dilakukan berdasarkan masukan dari penduduk Indonesia dan pembaca edisi pertama dan kedua.
Dari kamus terjemahan Inggris-Indonesia, penggunanya akan lebih mengenal bahasa Inggris pelafalan Amerika Serikat. Hal ini juga diungkapkan kedua penulis di kata pengantar sebagai tujuan menyusun buku. Kata-kata populer Amerika disertakan ejaan dan lafalnya mengikuti arti Indonesia tersajikan dalam kamus.
Perjalanan kesuksesan Hassan Shadily sebagai ahli perkamusan tidak ia duga sebelumnya. Pria kelahiran 20 Mei 1920 ini sempat belajar di Tokyo Internasional School pada 1944 dan Military Academy Tokyo Japan di tahun berikutnya. Namun ia belum sempat menamatkan pendidikan saat Jepang jatuh ditaklukkan tentara sekutu pada Perang Dunia II. Sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1974, Hassan pernah bekerja sebagai juru bahasa bagi tentara sekutu selama dua tahun.
Di tanah air, ia melakoni berbagai jenis pekerjaan. Mulai dari guru Bahasa Inggris, bankir di salah satu bank Indonesia, hingga pegawai di Departemen Luar Negeri. Barulah pada tahun 1952, ia dapat kembali melanjutkan pendidikan di Universitas Cornell. Tiket menempuh perguruan tinggi di Amerika Serikat itu ia peroleh melalui beasiswa Fulbright. Ia dan temannya, Mh Rustandi Kartakusuma menjadi orang Indonesia pertama penerima bantuan pendidikan milik J William Fulbright tersebut. Bukan hanya tercatat menjadi mahasiswa selama tiga tahun, tapi di universitas itu jugalah menjadi gerbang Hassan dikenal sebagai ahli perkamusan andal.
Karier Hassan sebagai leksikografer makin mentereng tatkala ia berhasil menyusun Ensiklopedia dalam 7 Jilid 3.500 halaman pada tahun 1980. Ia lakukan saat menjabat sebagai Kepala Direksi Penerbitan Ichtiar Baru Van Hoeven dan Elseiver Publishing. Lewat Yayasan Dana Buku Indonesia, ia juga pernah dipercaya John D. Rockefeller dan Datus C Smith untuk mengembangkan program penerjamahan buku-buku Amerika ke Bahasa Indonesia. Di waktu lain, Hassan memimpin Franklin Book Programm Jakarta berkantor di New York.
Hassan Shadily meninggal dunia pada 10 September 2000 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Empat belas tahun setelah meninggal, ia dianugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia. Atas jasa-jasanya, Hassan tentu akan selalu dikenang dan memberi manfaat bagi para pembelajar bahasa.
Penulis : Sri Hadriana
Editor : Khintan