Relakan kami padamu negeri
Izinkan kami bagimu pertiwi
Almamater Universitas Hasanuddin
Karunia Ilahi
Lirik di atas adalah penggalan lagu Mars Unhas yang pasti selalu dinyanyikan di tiap penerimaan mahasiswa baru atau acara-acara resmi yang dilaksanakan Unhas. Tapi tahukah anda siapa penciptanya?
Ada dua orang dosen penciptanya, mereka adalah Prof DR Mattulada dan Hamzah Daeng Mangemba. Hebatnya mereka membuat lagu itu kala masih berstatus mahasiswa.
“Mars itu diciptakan oleh HD Mangemba bersama DR Mattulada saat mereka masih menjadi mahasiswa di tahun 1950-an,” kata M Dahlan Abu Bakar, editor buku HD MangembaTakutlah pada Orang Jujur ketika berbincang dengan reporter identitasbeberapa waktu lalu.
Dibanding Prof DR Mattulada, catatan tentang HD Mangemba terbilang jarang. Tak banyak mahasiswa sekarang yang tahu tentang kiprah dosen Fakultas Sastra ini yang cukup banyak di bidang seni dan penerbitan buku.
“Daeng Emba memang punya ketertarikan terhadap seni musik. Tapi khusus soal Mars Unhas, saya tidak mengikuti bagaimana proses terciptanya mars itu. Karena itulah kelemahan kita dulu tidak pernah menggali hal-hal seperti itu. Nanti kita mau gali ketika orangnya tidak ada,”terang Dahlan.
HD Mangemba atau kerapa disapa Daeng Emba lahir di Tinambung,Sulawesi Barat pada tanggal 26 Juni 1923. Ia merupakan mahasiswa generasi awal Fakultas Sastra yang sekarang telah berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Fakultas Sastra di tahun 1959 masih kekurangan tenaga pengajar. Sehingga mahasiswa yang telah menyelesaikan kursus B1 (Baca: Bahasa Indonesia) dan dianggap memiliki kemampuan dan keterampilan mengajar dapat menjadi dosen, meski status mereka masih tercatat sebagai mahasiswa. Lewat jalur inilah HD Mangembaa menjadi dosen. Jadi ia telah mengajar, di saat masih berstatus mahasiswa.
Daeng Emba memulai karirnya sebagai dosen Ilmu Sejarah pada 1 Maret 1967. Saat masa baktinya sebagai dosen di Unhas usai pada tahun 2002, ia kemudian menjabat dosen Fakultas Sastra Universitas 45 Makassar.
Selain sebagai dosen, Daeng Emba menjadi salah satu tokoh kesenian di Sulawesi Selatan. Ia tercatat pernah menjabat posisi strategis di beberapa lembaga dan organisasi seni. Diantaranya, Direktur Konservatori Kesenian Sulawesi (1 Juli 1988), Pengurus Pusat Institut Kesenian Sulawesi (KSI) (1967), Ketua Dewan Kesenian Makassar (1969-1970), anggota Majelis Pembina DKM dan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Panitia Pertemuan Sastrawan V (1986), dan sebagai anggota Proyek Miniatur Sulawesi dan anggota Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Sulawesi Selatan (1989).
Di usia tuanya, Daeng Emba masih sering menjadi pemateri pada acara kesenian dan kebudayaan. Seperti membawakan materi di depan para pejabat Diplomatik Departemen Luar Negeri Jakarta, pada Karya Latihan Wartawan (KLW) PWI di Makassar, dan pada sejumlah kegiatan seminar di Makassar.
Di tahun 2002, penglihatan Daeng Emba sudah tak normal lagi. Di tahun yang sama pula Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin menerbitkan buku berjudul Takutlah pada Orang Jujur yang merupakan kumpulan tulisan Daeng Emba yang tersebar dalam bentuk berbagai tulisan lepas sejak tahun 1950 hingga 1998. Sehingga ia tidak dapat melihat wujud buku tersebut. Tak lama waktu berselang, Daeng Emba pun wafat di tahun 2000-an.
Semasa hidupnya, Daeng Emba telah menulis beberapa judul buku diantaranya Kenalilah Sulawesi Selatan(1956), Penjasmanian Kegotongroyongan Adat Sulsel (1965),Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulsel I dan II (1976/1979), Masyarakat dan Kesenian Indonesia (1984), Sultan Hasanuddin dan Perjuangannya (1985), dan Pengantar ke Alam Estetika (1987).
Tolak Nama Ujungpandang
Di tahun 1976 kala HM Dg Patompo menjabat Wali Kota Makassar, nama Makassar berubah menjadi Ujungpandang. Hal ini dilakukan agar wilayah Gowa, Maros, dan Pangkep bersedia menghibahkan tanahnya untuk memperluas wilayah Makassar.
Namun, Daeng Emba bersama dua orang budayawan lainnya, Prof Dr MR Andi Zainal Abidin Farid dan Prof Mattulada membuat petisi menuntut pengembalian nama Makassar dari Ujungpandang.
“Daeng Emba dan dua budayawan lainnya, Prof Zainal dan Dr Mattulada saat itu mengeluarkan petisi tolak nama Ujungpandang karena Ujungpandang tidak dikenal dalam sejarah masa lalu dan dunia. Yang dikenal hanyalah Makassar,” ungkap Dahlan.
Usaha Daeng Emba dan dosen-dosen lainnya itu baru berhasil di tahun 2000. Akhirnya, nama Makassar kembali digunakan sebagai nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Reporter: Khintan Jelita