Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja memunculkan penolakan yang berujung aksi demonstrasi di kalangan kelompok pekerja sektor manufaktur. Bahkan hingga saat ini, Omnibus Law masih menjadi polemik di masyarakat.
Menjalankan fungsi sebagai sosial kontrol, mahasiswa sudah seharusnya turut memikirkan hal ini. Seperti yang dilakukan Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan bersama Front Mahasiswa Nasional BPR Universitas Hasanuddin menggelar diskusi, di Pelataran Baruga A.P Pettarani, Senin (2/3).
Diskusi yang bertajuk “Nasib Perempuan dalam Jeratan Omnibus Law” itu menghadirkan Rini (Sentral Gerakan Buruh Nasional) dan Citra Widya Sari (Front Mahasiswa Nasional Seruni IMDI) sebagai pemantik.
Dalam pemaparannya, Rina mengatakan RUU Omnibus Law adalah karpet merah untuk investor. Negara membuka seluas-luasnya untuk investor, tapi rakyat dan lingkungan yang menjadi korban. Dalam 1028 halaman, tidak ada satupun pasal yang berbicara tentang perempuan. Menurutnya, perempuan tidak diperhitungkan karena dianggap tidak menguntungkan.
“Apa dampak Cilaka bagi perempuan, kalau teman-teman baca 1028 halaman, tidak ada satupun kata perempuan. Kenapa perempuan tidak diperhitungkan dan dianggap tidak menguntungkan,” papar Rini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam RUU Omnibus Law segala permasalahan cuti ditiadakan sehingga merugikan pekerja perempuan. “Dalam undang- undang ketenagakerjaan diatur tentang cuti melahirkan, cuti haid, dan cuti ketika menikah. Namun, itu semua ditiadakan dan RUU Omnibus Law,” keluh Rini.
Pada kesempatan yang sama, pemateri kedua, Citra Widya Sari menambahkan, kehadiran Omnibus Law merupakan jalan pengeksploitasian bagi kaum pekerja perempuan. Hal tersebut dikarenakan hak perempuan yang dulu telah dihilangkan.
“Hadirnya Omnibus Law ini merupakan sebuah jalan bagi pengeksploitasian kaum perempuan. Dengan hadirnya Omnibus Law, sudah jelas bahwa hak-hak yang dulu didapatkan perempuan akan kehilangan semua,” ujar Citra.
M18