Himpunan Mahasiswa Sastra Asia Barat (HIMAB) Kerukunan Keluarga Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (KMFIB-UH) adakan Ngaji Isu bertajuk “Sidang PBB, Hak Veto, dan Masa Depan Palestina”. Kegiatan bertempat di Sekretariat HIMAB, Jumat (03/10).
Diskusi menghadirkan Muhammad Mahfud Mas’ud sebagai pemateri. Ia memaparkan bahwa isu Palestina tidak cukup dipahami sebatas membagikan unggahan atau mengikuti gerakan boycott, divestment, sanctions (BDS). Melainkan perlu ditelaah lebih dalam menggunakan pendekatan 5W+1H.
Hak veto yang dimiliki lima negara pemenang Perang Dunia II Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan Tiongkok menjadi hambatan utama pengakuan kemerdekaan Palestina. Meski mayoritas negara anggota PBB mendukung, resolusi tetap gagal karena diveto oleh Amerika Serikat.
“Cukup satu negara gunakan hak vetonya, maka seluruh resolusi otomatis batal. Inilah yang membuat Palestina belum diakui secara de jure,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mahfud juga menyoroti dinamika global, seperti aksi damai global sumut flotilla yang dicegat Israel. Hingga keputusan Kolombia mengusir diplomat Israel sebagai bentuk protes. Tekanan publik internasional menunjukkan adanya titik jenuh terhadap agresi Israel, meski kekuatan veto masih jadi penghalang utama.
Mengenai two-state solution, mahasiswa Unhas itu menilai solusi tersebut memang menuai pro-kontra. Bagi sebagian kalangan, solusi itu tidak adil bagi Palestina. Namun, di tengah serangan beruntun dan blokade terhadap Gaza, opsi ini dianggap sebagai pilihan paling realistis.
Diskusi berlangsung interaktif. Peserta menanyakan mengapa negara-negara Arab terkesan pasif dan bagaimana posisi Indonesia. Mahfud menjawab bahwa perbedaan kepentingan politik di Timur Tengah serta dominasi lobi Yahudi di Amerika menjadi faktor penghambat.
Di akhir, Mahfud mengajak mahasiswa lebih kritis terhadap isu dan menegaskan. Jika ingin mendukung Palestina, setidaknya harus memahami terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi, bukan sekadar ikut-ikutan.
Mutia Aulia
